NKRI NEWS, BANDUNG - Yusa al Faridzi (6) berlari kencang. Dia menyusuri gang sempit menuju rumahnya di Kampung Karapiak RT 03/02, Desa N...
NKRI NEWS, BANDUNG - Yusa al Faridzi (6) berlari kencang. Dia menyusuri gang sempit menuju rumahnya di Kampung Karapiak RT 03/02, Desa Nanjung Mekar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Sesampainya di rumah, dia menyapa sang ibu, Rohaeti (42). Dia berniat pamit bermain bola namun dicegah sang ibu.
“Anaknya enggak keliatan sakit. Yusa suka main bola, naik pohon mangga, aktif sekali. Tidak tampak kalau dia sakit. Malah kami yang sangat khawatir,” ujar Rohaeti kepada Kompas.com di kediamannya, Senin (10/10/2016) sore.
Yusa merupakan anak ketiga Rohaeti-Dede Suherman (43). Awal tahun 2016, Yusa mengalami demam hebat selama dua pekan. Diagnosa saat itu, Yusa mengalami tipus.
Meski sudah diberi obat, Yusa tak kunjung sembuh. Bahkan perutnya terus membesar. Yusa pun dilarikan ke RS Cicalengka dan RS Cikopo hingga akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dalam kondisi kritis.
Yusa rupanya mengalami penyempitan usus. Dia dioperasi sekitar tujuh bulan lalu di RSHS. Untuk memantau kondisi usus, dokter mengeluarkan usus Yusa dan membungkusnya dengan plastik kalostomi.
Lama kelamaan, biaya rumah sakit terus membengkak, sedangkan uang di tangan hanya Rp 2 juta. Akhirnya, Rohaeti memutuskan untuk membawa pulang anaknya.
“Tapi enggak bisa dibawa pulang karena harus ada uang Rp 6,5 juta. Anak saya ditahan seminggu sampai ayahnya nyari pinjaman ke sana ke mari,” ungkapnya.
Selama ditahan di rumah sakit, pengobatan Yusa sudah dihentikan. Yusa hanya mendapatkan makan karena utang biaya operasi dan pengobatan Yusa ke RSHS sudah mencapai Rp19 juta dan belum dibayar hingga kini.
“Padahal saat itu, dokter bilang ususnya sudah bisa dimasukkan. Tapi mau apa lagi, kami tak punya uang. Nyari uang Rp 6,5 juta untuk mengeluarkan Yusa saja susah sekali,” imbuhnya.
Bahkan untuk makan sehari-hari dari rumah sakit, dirinya mengandalkan sumbangan dari saudara maupun teman-temannya.
“Selama di rumah sakit, saya enggak bisa kerja, jadi enggak punya penghasilan sepeser pun. Untungnya banyak teman yang peduli pada kami,” tuturnya.
Sepulangnya dari rumah sakit, Yusa masih menggunakan plastik kolostomi. Namun lama kelamaan, dia tak sanggup lagi dan menggantinya dengan plastik makanan.
“Saya bersihkan tiga sampai empat kali sehari. Tergantung ada kotoran yang keluar,” ungkapnya.
Karena Yusa sangat aktif, ususnya suka membesar. Usus Yusa kembali mengecil ketika dia istirahat atau tidur. Namun sekarang, usus Yusa tidak pernah kembali mengecil dan membuatnya panik, sedangkan Yusa tidak memperlihatkan kesakitannya, bahkan ia nyaris tidak pernah mengeluh. Jika perutnya sedang sakit, dia hanya berdiam diri dan sesekali meringis.
“Kalau keluar darah, ayahnya memberikannya betadine,” tuturnya.
BPJS mandiri
Rohaeti dan Dede sangat ingin membawa anaknya ke rumah sakit, namun persoalan biaya masih membelitnya. Dia pernah disarankan untuk mengikuti BPJS Non PBI atau BPJS mandiri. Namun jangankan untuk membayar iuran, biaya makan dan uang sekolah anak pun saling tarik menarik.
“Suami saya tukang bangunan, gajinya sekitar Rp 50.000 per hari yang dibayar mingguan di daerah Buahbatu,” ungkapnya.
Untuk mengurangi pengeluaran, sang suami hanya pulang ke Cicalengka seminggu sekali dengan menggunakan sepeda. Rohaeti sendiri seminggu dua kali bantu-bantu di kantin Pasar Baru. Uang yang didapatnya Rp 40.000 per sekali datang.
Rohaeti mengaku pernah mengajukan BPJS PBI namun belum ada tanggapan. Kalaupun keluarganya tidak dapat, setidaknya dia berharap sang ibu mendapatkannya.
“Yusa pernah mendapatkan bantuan Rp 5 juta dengan menggunakan SKTM (surat keterangan tidak mampu),” ucapnya.
Saat itu, Rohaeti membayar biaya rumah sakit Yusa dengan SKTM. Ketika mengajukan ketiga kalinya, ditolak karena limit habis.
“Saya datang ke Dinkes, ditolak. Saya disuruh baca pasal sekian-pasal sekian. Intinya limitnya sudah habis,” ungkapnya.
Rohaeti, suami, dan keempat anaknya saat ini tinggal di rumah ibunya, Sitirah.
“Anak saya tidak punya rumah. Ini juga rumah peninggalan suami saya,” ungkapnya.
Setelah suaminya meninggal, Sitirah ikut menggantungkan kehidupannya pada Rohaeti dan suaminya.
“Di rumah ini ada tujuh orang. Makan sehari-hari ya dari anak saya dan suaminya,” ucapnya.
Bantuan berdatangan
Setelah ramai diberitakan, bantuan untuk Yusa berdatangan. Hingga Senin, bantuan yang sudah datang berasal dari Bluebird, Amanda, dan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Bahkan Dinas Kesehatan pun mengirimkan ambulance keliling. Senin (10/10/2016), akhirnya Yusa kembali dibawa ke RSHS Bandung ditemani ketua RT dan petugas desa.
“Karena sudah terlalu lama, anak saya tidak bisa langsung ditindak. Tapi harus melalui prosedur dari awal lagi seperti pemeriksaan lab, dan lainnya,” ujar Dede.
Dede kemudian termenung dan memikirkan saat Yusa belum dibawa pulang dan sudah bisa operasi pemasukan usus.
“Semua salah saya. Salah saya tidak punya uang,” ucapnya.
Meski Pemkab Bandung sudah menurunkan bantuan, Dede maupun Rohaeti masih belum mendapatkan kejelasan tentang pengobatan Yusa selanjutnya. Karena petugas Dinkes bilang pembiayaan dikembalikan kepada BPJS.
“Saya tidak tahu BPJS mandiri atau tidak. Tapi kalau BPJS mandiri, terus terang kami tak sanggup untuk membayar iurannya,” ucapnya sambil mengucapkan ribuan terima kasih pada seluruh pihak yang telah membantunya.
Yang penting saat ini, lanjut Rohaeti, anaknya bisa melakukan operasi untuk memasukkan usus. Keinginan itu semakin besar ketika Yusa berkata ingin sekolah dan bermain seperti anak-anak lainnya. (KOMPAS.com)
BACA JUGA : 6 tahun Ngemis di flyover Kebayoran Lama, Muklis kantongi Rp 90 juta