NKRI NEWS - La Galigo. Nama itu mungkin masih asing bagi sebagian besar kita. Maklum, ‘makhluk’ satu ini lama tersembunyi di peti sejara...
NKRI NEWS - La Galigo. Nama itu mungkin masih asing bagi sebagian besar kita. Maklum, ‘makhluk’ satu ini lama tersembunyi di peti sejarah. Namun, bagi masyarakat Bugis, dan sebagian kecil peneliti dan pecinta sastra, nama ini sudah akrab di telinga. Ia merupakan salah satu warisan besar dunia yang belum terpublikasi secara luas.
La Galigo merupakan epos milik Indonesia yang tak kalah hebatnya dengan epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Konon, inilah epos terpanjang di dunia. Sinopsisnya saja memakan 2851 halaman folio. Konon, naskah aslinya mencapai 300 ribu baris. Enam kali tebal buku Harry Potter seri ketujuh yang berjumlah 1008 halaman.
Uniknya La Galigo
Kisah La Galigo sendiri secara umum terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berkisah mengenai penciptaan langit dan bumi, asal usul kehadiran manusia, dan nenek moyang raja-raja Bugis. Bagian pertama ini dianggap sakral, sehingga tak boleh dibaca sembarang orang. Hanya kaum bangsawan saja yang diperkenankan membaca dan menyimpan naskah ini. Karena itu nggak heran, tak banyak yang bisa kita ketahui mengenai bagian pertama ini.
La Galigo telah melanglang buana di belahan dunia sejak tahun 2004. Oleh seorang sutradara teater kontemporer berkewarga negaraan Amerika bernama Robert Wilson lakon ini dipentaskan di berbagai panggung teater kelas dunia dalam rentang tujuh tahun, mulai dari Singapura, Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Jakarta, Melbourne, Milan, hingga Taipe.
Robert Wilson hanya mengambil secuplik sureq (serat) La Galigo yang dianggap sebagai naskah sastra terpanjang di dunia. Kitab berbahasa Bugis klasik ini memiliki panjang lebih dari 300 ribu baris, dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana. Peneliti dari Belanda, Roger Tol, mengatakan, I La Galigo juga memiliki gaya bahasa yang indah.
Dan untuk pertama kalinya akhirnya La Galigo pulang kampung. Di tanah kelahirannya sendiri pada tanggal, 23-24 April 2011 di Fort Rotterdam Makassar, La Galigo dipentaskan di hadapan masyarakat Sulawesi Selatan dengan disutradarai oleh Robert Wilson.
Robert Wilson berharap, pementasan La Galigo di Makassar bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat Sulawesi Selatan untuk melanjutkan karya besar ini dalam bentuk lain. Robert Wilson, adalah produser film dan drama Romoe dan Juliet, serta The Life and Times of Joseph Stalin dan nominasi drama untuk Pulitzer Prize (1986).
Pementasan awal La Galigo di Makasar sebenarnya dimulai pada tanggal 22 April 2011 yang ditujukan hanya bagi sekitar 200 orang anak yatim piatu, mahasiswa, dan wartawan yang akan meliput dan memotret. Lalu pada tanggal 23 April pementasan ditujukan khusus bagi tamu VIP seperti para pejabat tingkat menteri dan duta besar. Dan di hari terakhir pementasan dibuka bagi masyarakat umum.
La Galigo berhasul dipentaskan di Makassar atas gagasan Tanri Abeng yang juga adalah tokoh nasional dari Sulawesi Selatan. Ia tertarik melakukannya karena beberapa kali pernah menyempatkan diri menonton langsung pertunjukan La Galigo di beberapa Negara yang disutradarai oleh Robert Wison. Pementasan I La Galigo di Makassar berlangsung juga berkat dukungan dan produksi Change Performing Arts (Italia) dan Bali Purnati (Indonesia), serta dukungan Pemerintah Kota Makassar. Sebenarnya pada tahun 2005, I La Galigo pernah sempat “pulang kampung” dengan pementasan di Teater Tanah Airku di Jakarta. Pementasan tiga jam yang disutradarai Robet Wilson ini pun sukses besar.
Hikayat La Galigo
Dari catatan di Wikipedia, Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk
Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
La Galigo di pentas dunia
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Creative Director Bali Purnati Centre, Restu Iman Kusumaningrum, orang yang mengusulkan I La Galigo dibawa ke pentas dunia, mengatakan, Robert Wilson memilih bentuk pertunjukan opera. Itu karena ia ingin memberikan kebebasan kepada penikmatnya untuk mencerap dan merasa.
"Kekuatan karya Robert bukan pada kata-kata, melainkan pada kepiawaiannya mengajak kita memainkan imajinasi," katanya. Drama I La Galigo memang tidak banyak memunculkan kata-kata. Kekuatan cerita hadir melalui harmonisasi musik tradisional, permainan cahaya, dan gerak. Satu-satunya penutur adalah seorang bissu (pendeta non gender) Bugis di sudut depan panggung. Itupun dengan bahasa Bugis klasik. Namun untuk memudahkan penikmatnya, alur cerita dijelaskan dengan display runing text di bagian atas panggung.
Peneliti dan penterjemah naskah I La Galigo, Muhammad Salim (alm), pernah mengakui, Robert memang tidak menghadirkan I La Galigo yang utuh. Robert berani mengawinkan beberapa unsur kesenian dari daerah lain seperti Tari Pajoge dari Makassar dan Bone, Pagellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Adalah komponis Jawa Rahayu Supanggah yang melakukan riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Bahkan ada adopsi karakter punakawan dari seni wayang Jawa. Para pengawal I La Galigo yang dalam cerita aslinya adalah orang-orang yang tegas, diubah menjadi karakter kocak seperti tokoh Petruk dan Gareng dalam wayang. Ini memberi kesegaran di tengah alur yang magis dan kontemplatif. Intinya, I La Galigo di tangan Robert hadir sebagai seni pertunjukan kontemporer.
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi. Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
From the world stage to find it's way home
Pementasan I La Galigo di Makasar hanya berlangsung sekitar 30 menit. Ini hanya sebahagian dari kisah lengkap Sureq Galigo. Dan inti cerita dari 12 adegan yang ditampilkan dalam pementasan ini, menggambarkan kisah cinta terlarang tokoh utama, Sawerigading dengan saudari kembarnya We Tenriabeng yang perjalanannya mampu mengusir nafsu yang dapat menghancurkan kerajaan Luwu.
Tokoh penting yang membacakan sureq (naskah), Puang Matoa Saidi dalam pementasan I La Galigo telah menghafal sembilan naskah dialog yang dibebankan sutradara dalam pementasan itu. Puang Matoa Saidi adalah pemimpin tertinggi komunitas Bissu (pendeta non gender) di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Ia menjadi pusat perhatian banyak pencinta teater internasional sejak Puang Saidi terlibat dalam pementasan teater Galigo yang telah pentas di Belanda, Italia, Amerika, Singapura, Perancis dan negara dunia lainnya.
Pementasan Galigo di Makassar, tutur dia banyak mengalami perubahan mulai perlengkapan ritual hingga kostum yang digunakan dirinya telah dipakai barang-barang yang asli, bukan lagi aksesoris milik tim kreatif pementasan Galigo.
“Panitia telah mengijinkan saya memakai perlengkapan ritual milik saya di kampung. Saya sudah sewa mobil ke Segeri, membawa alat-alat yang biasa dipakai ritual disini,” ucap Saidi dengan dialek bugisnya yang masih cukup kental. Meskipun tidak seluruh perangkat ritual yang digunakan dalam pementasan itu, dia mengaku sudah cukup lega karena aksesoris yang digunakan sudah sesuai dengan adat masyarakat bugis.
“Seperti sanggul di kepala saya tidak pakai plastik lagi, tetapi sudah pakai sanggul yang asli,” ujar dia.
Robert Wilson dianggap sanggup mengemas legenda I La Galigo itu menjadi sebuah tontonan kosmopolitan. Kekuatannya, antara lain, terletak pada kemampuan Robert Wilson memainkan pencahayaan dan artistik. Pada pementasan di Benteng Rotterdam Makassar, adegan penciptaan bumi ditingkahi gradasi warna biru seolah membawa penonton pada sebuah keheningan yang subtil.
Pementasan lakon ini memberikan rasa bangga khususnya bagi orang Bugis sebagai pemilik mitologi I La Galigo. ”Kami harus berterima kasih kepada orang-orang yang telah mementaskan legenda Sawerigading ke luar negeri. Mitologi Bugis yang tersisa dalam serpihan-serpihan ingatan itu bisa dikenal dunia,” ujar Asdar Muis, budayawan muda Sulawesi Selatan.
Yayath Pangerang, pekerja budaya asal Luwu, berharap lakon ini terus mengembara di panggung dunia untuk memperkenalkan tradisi Bugis. ”Secara alamiah, Sawerigading memang pengembara. Jadi, biarkan dia (legenda) berkeliling dunia agar dia menjadi mata air kebudayaan. Kemasannya mau dibikin seperti apa dan dipentaskan oleh siapa tidak lagi penting. Yang penting, tradisi Bugis dikenal orang.”
Ikrar Andi Mohammad Saleh, dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar, yang juga generasi ke-4 Arung/ Raja Belo—sebuah kerajaan Palili di Soppeng—mengatakan, pementasan I La Galigo memberikan kebanggaan terutama bagi orang Bugis.
”Ini baru kulitnya, masih jauh dari esensi mitologi I La Galigo yang sangat kaya dan menjadi pijakan nilai hidup bagi orang Bugis. Derivasi (turunan) dari naskah itu sebenarnya sangat kaya, yakni mengatur mulai dari pertanian, lingkungan, sampai hubungan seks suami istri,” ujarnya.
Meski demikian, pementasan ini bisa dijadikan pintu masuk untuk menguak lebih dalam tabir mitologi I La Galigo yang sebagian besar belum diketahui. ”Kita harus terus mendalami I La Galigo agar orang tidak menyangka mitologi ini isinya sebatas kisah cinta Sawerigading seperti lakon yang dipentaskan.”
From the world stage to find it's way home, begitulah tagline-nya. Setelah dipentaskan di 11 negara, drama I La Galigo akhirnya pulang ke rumah. I La Galigo telah menjadi kebanggan dunia, semoga di tanahnya, ia juga menjadi kebangaan bangsa Indonesia. Semangat untuk mengenal dan menggalinya juga merupakan semangat untuk menemukan dan membangun karakter bangsa, agar bangsa ini kian kuat berpijak di buminya sambil menjujung langitnya. (edisantana)