Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah salah seorang tokoh Wali Songo yang namanya sangat lekat di benak Muslim di Pulau Jawa, karena ...
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah salah seorang tokoh Wali Songo yang namanya sangat lekat di benak Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Konon pada saat Sunan Kalijaga bermukim di sana, dia sering berendam di sungai yang dalam Bahasa Jawa disebut kali.
Mengenai asal-usulnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias ‘Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari penguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I (‘Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Nabi Muhammad.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra, yaitu R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit yang berakhir pada tahun1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
BACA JUGA : Lagu Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena Wahabi
Menurut cerita yang sering kita dengar, sebelum menjadi bagian dari Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan hasil bumi. Dan hasil rampokan itu ia bagikan kepada orang-orang yang miskin.
Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu.
Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukkan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang.
Singkat cerita, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Dia pun lalu menyusul Sunan Bonang ke sungai dan berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu, ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya.
Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Dia lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik yang menekankan pada unsur pemujaan semata. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang. Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Lalu apa saja 10 Wasiat atau Dasa Pitutur Kanjeng Sunan Kalijaga yang masa hidupnya konon mencapai 100 tahun lamanya itu?
Berikut ini isi nasihat berharga dari beliau yang layak kita renungkan dan kita jalankan dalam kehidupan kita, jika kita mendambakan kehidupan yang selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Pertama, Urip Iku Urup, yang bermakna Hidup itu Nyala. Maka hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Karena semakin besar manfaat yang bisa kita berikan, tentu akan lebih baik. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain.
Kedua, Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro, yang bermakna bahwa manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Hal ini dimaksudkan agar setiap manusia turut berperan sebagai penyelamat bumi, langit dan seisinya, termasuk juga keselamatan dan keamanan segala makhluk yang hidup di dalamnya.
Ketiga, Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti, yang bermakna bahwa
segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya akan bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Maka manusia hendaknya lebih mengutamakan akhlakul karimah, tidak hidup di bumi dengan bersikap sombong dan tidak gemar membuat kerusakan di atasnya.
Keempat, Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho, yang bermakna bahwa manusia harus tetap berjuang meski tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; Kaya tanpa didasari kebendaan. Itulah modal manusia dalam hidup, yang senantiasa menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaannya sebagai anugerah kodrati dari Tuhan.
Kelima, Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan, yang bermakna
hendaknya manusia jangan gampang sakit hati dan ciut nyali manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala dirinya kehilangan sesuatu. Karena manusia mesti senantiasa sadar, bahwa semua hanya milik-Nya. Dialah Sang Pemilik Sejati, sementara dirinya hanya semata si penerima titipan belaka.
Keenam, Ojo Gumunan, Ojo Getunan, ojo Kagetan, ojo Aleman, yang bermakna hendaknya manusia jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut dan kaget; Juga jangan mudah kolokan, cengeng atau manja. Sebaliknya, manusia mesti tak mudah euforia di kala senang dan tidak pula histeria di kala sedih, melainkan harus tetap tenang dan tegar dalam segala keadaan.
Ketujuh, Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman, yang bermakna hendaknya manusia jangan terlampau terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi. Karena sejatinya semua itu, ibarat hanya senda-gurau belaka.
Kedelapan, Ojo Kuminter Mundak Keblinger, ojo Cidra Mundak Cilaka, yang bermakna bahwa hendaknya manusia jangan sok merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar dirinya tidak celaka. Manusia mesti selalu ingat bahwa hanya Tuhanlah yang Maha Tahu, sementara dirinya hanya mendapatkan karunia kepandaian dan ilmu tak lebih dari seujung kuku saja. Karena itu, sudah selayaknya manusia hidup berlaku jujur dan senantiasa teguh di jalan kebenaran.
Kesembilan, Ojo Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo, yang bermakna hendaknya manusia jangan gampang tergoda dan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, dan indah; Jangan berpikir mendua agar tidak malah kendor niat dan semangatnya dalam berkarya. Maka manusia harus hidup qanaah dan bersahaja, merasa cukup dengan apa yang memang benar-benar dibutuhkannya. Sedangkan dalam berikhtiar dan berupaya hendaknya dia tetap fokus dan tidak mendua.
Kesepuluh, Ojo Adigang, Adigung, Adiguno, yang bermakna hendaknya manusia jangan berwatak sok kuasa, sok besar, sok sakti dan sok-sok lainnya. Karena seperti kata pepatah, di atas langit masih ada langit. Dan sesungguhnya, pakaian kesombongan itu hanya Tuhan yang pantas memakainya, bukan manusia yang sejatinya adalah budak yang tak kuasa dan hamba yang penuh cacat dan cela.
Itulah kesepuluh wasiat atau pitutur dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang patut kita pedomani dan semampu kita hendaknya kita wujudkan dalam kehidupan di dunia, agar kita beroleh keselamatan dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak. (IslamIndonesia)