Doa yang disampaikan anggota DPR Muhammad Syafi’i (16/8 ) di Senayan, Jakarta, menuai beragam komentar. Di depan hadirin sidang paripurn...
Doa yang disampaikan anggota DPR Muhammad Syafi’i (16/8 ) di Senayan, Jakarta, menuai beragam komentar. Di depan hadirin sidang paripurna soal APBN 2017, anggota DPR dari Fraksi Gerindra ini membacakan doa diikuti sindiran yang dinilai ditujukan pada pemerintah Jokowi.
Syafi’i membantah jika pembacaan doanya yang menyindir kinerja pemerintahan hingga menyebut insiden bentrokan di Medan baru-baru ini bertujuan politis. “Itu spontanitas saja,” katanya saat ditanya wartawan.
Meskipun sebagai oposisi pemerintah, tidak mudah menilai Syafi’i telah melakukan ‘politisasi doa’. Di sisi lain, melihat kenyataan politik Indonesia, juga tidak mudah membenarkan motif politisi untuk tujuan agama semata. Jika berangkat dari defenisi Ali Maschan Moesa, politisasi agama memang tidak jarang tercium khususnya untuk menggalang suara di pilkada atau dalam rangka menjatuhkan lawan politik.
Moesa dalam bukunya ‘Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama’ (2007) mengatakan, politisasi agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk menggerakkan massa, mengaduk-aduk emosi keagamaan, menjalin kekuatan di parlemen, dan seterusnya, tetapi tujuannya untuk kepentingan politik, bukan kepentingan agama.
Maraknya politisasi simbol-simbol agama ini juga tercermin dari keprihatinan sejumlah ulama dan cendekiawan Muslim. KH. Ahmad Mustofa Bisri misalnya, sempat menyatakan prihatin dengan sejumlah kelompok yang kerap memanfaatkan agama demi kepuasan nafsu politiknya. Selain mencoreng citra agama, kata Gus Mus, sikap ini merupakan cermin ketidakmampuan mengenali Tuhannya. Mengikutsertakan agama untuk kepentingan tertentu, seperti kampanye politik, adalah tindakan berlebihan.
“Gusti Allah diajak kampanye. Kebangetan tenan, kurang ajare nemen banget. Gusti Allah kok diajak kampanye. Kalau nggak bisa berpolitik, ya nggak usah berpolitik lah,” katanya sebagaimana dikutip dalam portal resmi Nahdatul Ulama beberapa waktu silam.
Menurut jebolan Al Azhar Mesir ini, perilaku keberagamaan harus ditunjukkan secara sederhana dan bijaksana. Tak cukup mengandalkan semangat mencintai Allah, tanpa disertai pengenalan secara mendalam tentang Allah.
Intelektual Nahdatul Ulama, Abdul Waid menambahkan, jika politik diperjuangkan untuk kepentingan agama, barangkali tidak akan menjadi masalah. Namun, katanya di Harian Kompas, jika agama dieksploitasi untuk kepentingan politik seperti penggunaan simbol-simbol agama dan ajaran agama hanya demi tujuan mencapai kemenangan politik, di sinilah mulai terjadi pelecehan agama.
Mengutip Imam Ghazali, Waid memasukkan ulama yang mengeksploitasi agama demi kepentingan dunia dalam kategori ‘ulama al-syuk’, yaitu ulama yang menjual ayat dengan murah, mencari legitimasi murahan yang bersumber dari ajaran agama untuk mencapai hasrat keduniaannya. [islamindonesia.id]