Begini teman-teman, soal demo 4 November nanti seharusnya hanya akan menjadi demo yang biasa. Ketika Presiden Jokowi mendatangi Prabowo k...
Begini teman-teman, soal demo 4 November nanti seharusnya hanya akan menjadi demo yang biasa. Ketika Presiden Jokowi mendatangi Prabowo ke Hambalang, mengundang MUI, Muhammadiyah dan NU ke Istana, maka dapat kita simpulkan FPI dan yang sesapian dengannya otomatis mewakili kubu SBY. Otomatis. Sebab Prabowo, MUI dan NU tidak mendukung aksi demo yang menyerukan anarkis dan hendak menduduki istana
Presiden Jokowi benar-benar mengunci lawan-lawan politiknya, sehingga siapapun yang turun pada 4 November nanti akan mewakili kepentingan kelompok anak SBY. Bahwa kemudian ada Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang keblinger ingin mendukung aksi tersebut, itu hanya karena kebodohan mereka secara individu dan manusia setengah titik-titik. Namun Prabowo sebagai pimpinan koalisi yang memegan kendali Zon dan Fahri, menurut informan seword, mereka sudah diberikan teguran sangat keras. Terlebih, Prabowo kemudian mendatangi kantor DPP PKS semalam untuk bertemu ketua PKS Sohibul Iman guna memastikan semua kader PKS tidak terlibat dalam demo 4 November nanti.
Ketika opini publik sudah terbentuk bahwa 4 November tidak mewakili kubu Prabowo, MUI, NU dan Muhammadiyah, barulah SBY kelabakan bertemu Wiranto dan JK. Sebab Jokowi memang sengaja tidak menemui SBY, meskipun sangat tau SBY adalah bagian dari 3 kekuatan yang sedang berkepentingan di Pilgub DKI dan isu Ahok. Presiden sepertinya juga memiliki informan yang akurat seperti seword, sehingga paham betul apa yang harus direspon dari suatu kejadian, lalu berhasil menyudutkan tanpa perlu menyebut nama secara langsung. Sama lah seperti saya dan cerita Raja Gurita, tak perlu saya sebutkan namanya secara jelas, pembaca seword sudah paham. *sebentar, saya sengaja nyama-nyamain dengan Jokowi, numpang tenar hahaha.
Oke sampai di sini mungkin masih ada pembaca yang berparasangka baik dengan SBY dan yang sekeboan dengannya. Oke lah, saya tak bisa menjelaskan, sebab sesuatu yang ‘off the record’ tidak boleh terdengar di publik. Tapi begini, terlalu kebetulan kalau Presiden Jokowi tak mau menemui SBY. Padahal beliau adalah mantan Presiden 10 tahun. Malah menemui Prabowo yang belum pernah jadi Presiden. Katakanlah ini kebetulan, tetap saja kebetulan yang luar biasa.
Apalagi di saat yang bersamaan, kemarin 1 November, Presiden mengancam akan melaporkan 34 poryek pembangkit listrik mangkrak ke KPK.
“Mana BPKP? Tolong disampaikan bagaimana penyelesaian proyek-proyek yang mangkrak ini karena dana yang dikeluarkan bisa sangat besar sekali. Tolong nanti diberitahukan ke saya totalnya berapa karena ini sudah menyangkut angka yang triliunan dan ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Kalau saya lihat di lapangan satu dua hari kemarin, kelihatannya juga banyak yang tidak bisa diteruskan karena memang sudah hancur, sudah karatan. Tinggal kepastian, kalau ini memang tidak bisa diteruskan ya sudah, nanti saya bawa ke KPK,” kata Jokowi.
Ditambah kasus sebelumnya yang juga dibongkar adalah kasus hilangnya dokumen penting negara TPF pembunuhan Munir. Dokumen tersebut dihilangkan oleh SBY secara pribadi, bukan pemerintahan SBY. Sebab dokumen diserahkan langsung ke SBY, bukan Kemensetneg.
Kemudian Antasari juga bisa mengancam pertahanan SBY, sebab 10 November nanti Antasari bebas. Bagi sebagian orang, mungkin ini hal yang biasa dan sesuai prosedur hukum. Namun sebenarnya tak sesederhana itu. 10 November adalah hari pahlawan, bagaimana mungkin orang yang dipenjara karena tuduhan membunuh dibebaskan pada hari pahlawan? Sebagai pengamat simbol Presiden Jokowi, saya sangat paham bahwa ini memuat pesan yang sangat kuat pada siapapun yang telah mendzolimi Antasari.
Presiden Jokowi di satu sisi ingin menyelesaikan permasalahan, seperti pembangkit listrik dan kasus Munir, namun di sisi lain, politik tak pernah sesederhana itu. Langkah-langkah Jokowi jelas sangat mengganggu SBY. Dan gangguan tersebut, seperti dokumen TPF dan 34 pembangkit listrik mangkrak merupakan ulah dan kesalahan SBY di masa lampau. Dua kasus ini memang sudah sejak lama diserukan oleh Presiden Jokowi, namun tak seheboh sekarang, hanya off the record. Memang sempat ada instruksi melanjutkan 34 proyek mangkrak, namun baru sekarang Presiden Jokowi mengancam akan melaporkan ke KPK. Apakah ini juga mau disebut kebetulan?
Dari serangkaian permasalahan negara ini, SBY bisa kejang-kejang kalau semuanya dibuka dalam waktu yang bersamaan. Inilah kenapa SBY kemudian menemui Wiranto, sebagai orang lama yang cukup paham soal kasus Munir, mungkin juga terlibat. Kemudian bertemu JK, sebagai orang yang memiliki peran di proyek pembangkit listrik dan menjadi bagian dari kasus Antasari.
Sekali lagi, terlalu kebetulan kalau semua ini disampaikan nyaris secara bersamaan oleh Presiden Jokowi saat kasus Ahok sedang dimainkan. Kalau Jokowi bisa sefrontal Pakar Mantan, mungkin begini kira-kira “dasar biang kerok, gue kulitin juga lu!”
4 November ditunggangi kelompok teroris
Saat SBY sudah tersudut oleh strategi Presiden Jokowi, saat kasusnya mulai dibongkar-bongkar, pada saat yang bersamaan gerakan 4 November sudah berhasil dimanfaatkan oleh kelompok teroris internasional yang memang mengincar Indonesia. Selama ini mereka menunggu momentum yang pas untuk membuat kerusuhan dan meneror negara kita.
Pengamat Terorisme, Sydney Jones menilai beredarnya foto kelompok Jaisy Al Fath di Suriah yang bertuliskan ‘Tangkap Ahok atau Peti Mati Ahok’ menunjukkan memang gerakan anti Ahok di Indonesia telah ditunggangi oleh kelompok radikal.
“Kalau melihat fakta tersebut, gerakan 4 November nanti memang berpotensi ditunggangi oleh kelompok kelompok garis keras,” kata Sydney dalam diskusi ‘Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Pilgub DKI’ di Wahid Institute, Jakarta, Selasa (1/11).
Sydney mengatakan foto itu bukanlah kelompok ISIS tapi kelompok Al Nusra yang terkait Abu Jibril. Karena anaknya memang pernah tewas di Suriah. Tapi ia mengaku memang cukup heran untuk apa mereka kemudian memperhatikan Ahok dan Pilkada DKI.
“Dan yang saya heran kenapa politisi di Indonesia membiarkan ormas-ormas garis keras untuk mengisi agenda agenda politik seperti ini,” terangnya.
Kondisinya sudah begitu cepat berubah. Dari semula hanya soal Ahok dan bagian dari permainan isu SARA di Pilgub DKI, sekarang sudah menjadi masalah nasional dan mengancam ketahanan negara. Abu Jibril sudah berhasil mengambil alih rencana 4 November dengan membuat provokasi “memberi wasiat” atau “bau surga di demo Istana.” Sehingga kalau nanti ada masalah serius di 4 November, maka satu Indonesia tau siapa biang keroknya.
Terakhir, bagaimanapun rencana demo dan provokasi sudah terlanjur bergulir, donaturnya jelas ada. Bahwa sekarang sudah berhasil dimanfaatkan oleh Abu Jibril, itu tetap menjadi tanggung jawab yang sudah menyalakan api. (SEWORD)
Begitulah kura-kura.