NKRI NEWS - Wahai saudaraku. Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai, khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada Ke-Esaan...
NKRI NEWS - Wahai saudaraku. Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai, khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada Ke-Esaan Tuhan. Para leluhur kita dulu SUDAH SADAR DIRI, jauh sebelum ajaran agama baru yang di import dari Timur Tengah, India dan China hadir di Nusantara. Para beliau merasa bahwa KEYAKINAN itu adalah untuk DIPERCAYA dan DILAKUKAN ajarannya, bukannya menjadi bahan perdebatan atau malah dicarikan eksistensinya lalu menjadi sumber pertikaian dan peperangan. Oleh sebab itu, nenek moyang orang Jawa sudah membekali dirinya dengan pengetahuan tentang Dzat (kenyataan) Tertinggi serta tentang bagaimana bisa menemukan-Nya.
Ya. Orang Jawa di masa lalu telah percaya akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata namun memiliki kekuatan Adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan dunia. Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Bhatara sekalipun, semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa sendiri. Tuhan-lah yang orang Jawa yakini dan mereka sembah, yang telah mereka pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang Hyang Taya.
Memang pada masa itu orang Jawa belum memiliki Kitab Suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran itu tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat). Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) dan untuk menjadikan orang Jawa sebagai sosok yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji).
Karena itulah, masyarakat Jawa yang cair (ramah dan santun), juga menerima dengan baik ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani dan lainnya) selama mempunyai konteks yang sama dengan ujung MONOTHEISME (Tuhan yang satu). Sebab inilah banyak agama yang dibawa kaum migran lalu memilih basis dakwahnya dari tanah Jawa.
Sungguh, leluhur Jawa dulu selalu melihat bahwa agama itu sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran mereka biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya itu menampakan kewingitan (wibawa magis), bukan inti ajarannya. Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang (termasuk penghayat Kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktik klenik dan perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para leluhur dulu.
Kemudian jauh sebelum agama Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan – yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama ini adalah perkembangan dari ajaran dan prinsip keyakinan kepada Sang Hyang Taya sebelumnya. Dimana Kapitayan ini adalah suatu ajaran yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Dia-lah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.
Perlu diketahui bahwa konsep Hyang adalah asli dari sistem kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa, bukan konsep yang berasal dari ajaran Hindu atau Buddha dari India. Kata Hyang dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda dan Bali sebagai suatu keberadaan kekuatan Adikodrati yang supranatural. Keberadaan spiritual ini bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam jagat raya. Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan (Niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang Jawa lalu mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat “Tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, agar bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna “daya gaib” yang bersifat Adikodrati.
Perlu diketahui juga bahwa TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat, Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sang Hyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya. Demikianlah, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sang Hyang Tunggal. Karena itu baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.
Lalu, oleh karena Sang Hyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sang Hyang Taya yang disebut TU atau TO itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TU-lup, TU-rumbuhan, un-TU, pin-TU, TU-tud, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya. Dalam melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Kalau dalam Islam ada tingkatan-tingkatan ibadah seperti Syari’at, Thariqah, Hakikat dan Makrifat, maka di Kapitayan praktek di atas adalah proses ibadah tingkatan syari’at yang dilakukan oleh masyarakat awam kepada Sang Hyang Tunggal. Untuk para ‘ulama’-ulama’ sufi’ nya Kapitayan, mereka menyembah langsung kepada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, pertama melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutuk(lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud “menghadirkan’ Sang Hyang Taya di dalam Tutu-d (hati). Setelah merasa sudah bersemayam di hati, langkah selanjutnya adalah tangan diturunkan dan didekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang ke-aku-an diri). Setelah dirasa cukup proses Tu-lajeg ini, kemudian dilanjutkan dengan Tu-ngkul (membungkuk menghadap ke bawah), lalu dilanjutkan lagi dengan Tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki), dilanjutkan proses terakhir yaitu To-ndhem (bersujud). Sedangkan tempat ibadahnya disebut Sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan. Kalau Anda kesulitan membayangkan tempatnya, maka modelnya tidak jauh berbeda dengan langgar/musholla di desa-desa pada umumnya.
Untuk itu, seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah) dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau dha-TU (cikal bakal gelar Ratu dan Datu bagi para pemimpin kerajaan Nusantara).
Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-ndodakakriya (nasi dan air), dan PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Sehingga seorang ra-TU atau dha-TU, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya. Seorang ra-TU atau dha-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Tunggal.
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di atas, kedudukan ra-TU dan dha-TU tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TU atau dha-Tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-ah dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebutWisaya. Penguasa Wisaya diberi sebutan Raka. Seorang Raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU. Dengan demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang dimilikinya.
Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut oleh para pemuja Vishnu masuk ke Nusantara. Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta yang bersifat kewangsaan, telah memberi motivasi bagi raja-raja Nusantara yang awal untuk menganut Vaishnava. Hanya saja, sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh penguasa-penguasa di Nusantara, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak dihilangkan. Keberadaan seorang raja atau maharaja misalnya, selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-TU atau dha-TU. Sehingga seorang raja, dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut ‘keraton’ atau ‘kedhaton’ di samping bangsal dan puri. Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-nggul, TU-mbak, TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Nusantara mensyaratkan keberadaan ra-TU atau dha-TU dengan benda-benda yang ber-TU-ah.
Namun zaman pun berganti dan keadaan dunia juga berubah sangat drastis. Dan ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah di tekan hebat oleh para tamunya. Contohnya ketika zaman kerajaan Kadhiri, penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa saat itu menekan golongan Kapitayan sehingga mereka harus naik ke gunung Klothok dan gunung Wilis (artefak peninggalan Kapitayan banyak tersebar disana, sebagian dibawa kaum penjajah ke Leiden dan berkembang menjadi aliran kepercayaan Hasoko Jowo yang justru bermarkas di Leiden-Belanda sana). Lalu di zaman kerajaan Tumapel/Singosari kejadiannya pun sama, penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok ini hingga mengungsi ke pesisir selatan tanah Jawa. Selanjutnya di zaman kerajaan Demak, penganur agama Islam yang melakukan penetrasi bahkan hingga sekarang ini. Dan yang terakhir di zaman Kolonoial, penganut agama Nasrani mendapat tempat elite di sosial kemasyarakatan dan lainnya.
Sungguh, jika Anda mau bertanya seberapa ramah dan besarnya pengorbanan suatu peradaban menerima perobahan? Itu hanya milik peradaban tanah Jawa di Nusantara. Andai saja mereka bersikukuh pada keyakinannya dan mengabaikan nilai universal yang dipahaminya, saya amat yakin bahwa TIDAK AKAN ADA AJARAN AGAMA IMPORT BEGITU MUDAHNYA MASUK DI TANAH JAWA, bahkan tanpa pertumpahan darah. Justru yang belum yakin itulah yang bertanya dan kearifan tanah ini menjawab dengan bahasa semesta. Ketika agama Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dikagumi seluruh dunia dan dijadikan tempat pendidikan kelas dunia di masanya. Hal yang sama juga terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Kemudian agama Islam bahkan dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisongo sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan lainnya, dan kini timbullah dengan apa yang dikenal dunia kini dengan sebutan Islam Nusantara.
Tapi, ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus seperti aslinya dimana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan yang nyata. Dan ketika ada orang yang menganggap adalah sempurna bila agama dijalankan sejurus dengan adat dimana ia diturunkan. Maka JAWABANNYA ADALAH SALAH BESAR, karena tata nilai agama itu bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada suatu komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan mimpi untuk bisa hidup sempurna jika memaksakan sesuatu – terutama keyakinan – tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat. Sebab, getaran semestanya (nyata dan gaib) akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang keliru dan bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Dan Tuhan itu adalah Sang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengkerdilkan keperkasaan-Nya itu dengan mengatakan “Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja”?. Sungguh aneh.
“Akan tiba waktunya di tanah Nusantara ini bangkit kembali ajaran kuno yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di tanah Jawa, tetapi membawa pengaruh bagi seluruh dunia. Ajaran itu sangat indah karena di dalamnya terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu, mengabdi kepada Dzat Yang Maha Mulia, dan tunduk hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa. Sebagaimana yang telah dikabarkan di dalam kitab suci semua agama besar dunia”
Wahai saudaraku. Semoga kita tetap bisa menjadi pribadi yang tidak berpikiran picik atau fanatik yang buta, karena itu hanya akan menyusahkan. Bahkan jika terus dipertahankan, maka kehidupan pun akan semakin kacau, karena kepicikan dan fanatik itu sendiri adalah sumber dari kebodohan. Bersikaplah bijaksana disertai hati yang lapang, dengan begitu tujuan hidup di dunia akan tercapai. (oediku.wordpress.com)
BACA JUGA : Sejatinya Orang Jawa Tak Pernah Ikhlas Menerima Islam
BACA JUGA : Sejatinya Orang Jawa Tak Pernah Ikhlas Menerima Islam