NKRI NEWS - Prof. Dr Ahmad Syafii Maarif, ulama Muhammadiyah berpendapat, bahwa saat ini umat Islam sebagai mayoritas di Nusantara semes...
NKRI NEWS - Prof. Dr Ahmad Syafii Maarif, ulama Muhammadiyah berpendapat, bahwa saat ini umat Islam sebagai mayoritas di Nusantara semestinya mengembangkan Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.
“Sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam, sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara ini, tanpa diskriminasi, apapun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya. Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak pada rakyat miskin….” paparnya dalam bukunya yang berjudul “Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Mizam 2015: Hlm)
Cendekiawan yang biasa dipanggil Buya itu juga menekankan pentingnya sikap bijak umat Islam hidup di bumi Nusantara. Menurutnya, sejarah Islam di Nusantara sangat lekat dengan sikap bijaksana sehingga harus jauh-jauh dihindari sikap legal formal yang telah terbukti tidak akan pernah efektif menjadi sarana dakwah atau mengusung nilai-nilai Islam.
“Mengimpor pengalaman kontemporer Arab atau Afghanistan mengenai Islam sebagai kekuatan politik dan kebudayaan ke Indonesia adalah perbuatan orang yang buta peta. Ujungnya hanya tunggal, yakni kejanggalan. Sebab peta sosio-kultural mereka sangat berbeda dengan peta Indonesia,” terangnya.
Dalam pandangan Buya, pengalaman gerakan Islam impor yang bersumber dari Ikhwan Mesir, Jamat-e Islami Pakistan,Hizbu Al-Tahrir Palestina yang mengusung bendera kekhalifahan yang transnasional, atau ideologi jihad Afghanistan pasti akan kandas di bumi Indonesia karena susunan kimiawi-kulturalnya sangat berbeda dan pasti menolak.
“Ia sangat asing bagi gelombang kultur besar Indonesia, sekalipun masih saja dipaksakan oleh segelintir orang. Bumi Nusantara ini bukanlah bumi yang subur bagi semua ideologi politik ekstrem dalam format apapun, kanan, kiri, atau tengah,” paparnya.
Namun menurut Buya, ideologi ekstrem tetap bisa hidup walaupun secara sporadis dan temporal selama keadilan yang dituntut oleh Pancasila tidak pernah turun ke bumi Nusantara akibat nurani para elite bangsa ini sering benar tidak berfungsi. Kenyataan sekarang menurut Buya, para elit politik lebih banyak menjadikan Pancasila sebagai retorika politik yang amoral dan inilah yang menjadi penyebab utama mengapa bangsa Indonesia sulit sekali bangkit secara autentik dan bermartabat.
“Maka tugas selanjutnya adalah mengisi Pancasila dengan nilai-nilai kenabian yang sangat kaya dalam masalah moral, etika, sumber hukum, dan doktrin eskatologis. Menciptakan sebuah bangunan Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas lebih merupakan kerja dakwah dan kebudayaan tinimbang kerja politik,” pesannya.
Buya menawarkan pandangan, melalui pendekatan dakwah dan kebudayaan, nilai-nilai dasar Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan dapat dirancang dengan lebih teliti, sabar dan berdaya jangkau jauh. Jika nilai-nilai dasar ini sudah kuat, maka pengaruhnya di ranah politik juga akan terasa, yaitu tampilnya politik yang berkeadaban, bukan politik kekuasaan yang kerjanya menyikut kiri-kanan, tidak peduli orang lain tersingkir dan tersungkur. Politik yang dibimbing oleh nilai-nilai profetik pastilah akan bermuara pada kedamaian dan keadilan, sekalipun para pelakunya berbeda ideologi. (civicislam)