Tidak kunjung cairnya ganti rugi korban ‘tragedi crane’ dan di-PHK-nya ribuan pekerja asing – hingga mengalami kelaparan -, mencerminka...
Tidak kunjung cairnya ganti rugi korban ‘tragedi crane’ dan di-PHK-nya ribuan pekerja asing – hingga mengalami kelaparan -, mencerminkan ekonomi Saudi yang kian memburuk. Belum lama ini, sejumlah perusahaan lokal kesulitan membayar upah buruh migran sehingga terjadi pemecatan massal. Hal ini membuat para buruh migran, termasuk dari India, sempat tak bisa membeli makanan, bahkan tiket untuk pulang kampung.
Mengantisipasi situasi ini, bank sentral Saudi telah menggelontorkan pinjaman hingga empat miliar dolar dengan bunga kecil kepada bank-bank dalam negeri guna mencegah kebangkrutan sejumlah perusahaan.
Defisit anggaran, krisis likuiditas, anjloknya bursa saham dan secara keseluruhan masalah finansial yang dihadapi sektor perbankan Arab Saudi dalam dua tahun terakhir, semuanya adalah imbas dari kebijakan menurunkan harga minyak dunia yang semula dipakai untuk memukul lawan-lawan politiknya di kawasan yang juga penghasil minyak.
Ketika anggaran belanja 2015 disahkan, Riyadh mematok harga minyaknya 75 dollar per barel. Namun sejak Juni 2015, Saudi bermain dengan harga minyak sehingga memicu anjloknya harga minyak dunia hingga 50% dari 75 dollar per barel. Saat itu, Saudi percaya diri mengingat persediaan cadangan devisa 765 miliar dollar untuk beberapa bulan ke depan.
Entah ini benar-benar percaya diri atau tindakan ‘bunuh diri’. Bayangkan, pendapatan Riyadh tahun fiskal 2015 sebesar 715 miliar riyal (US$ 190.700 miliar), sementara belanja pemerintahan sebesar 860 miliar riyal (US$ 229.300 miliar). Dengan demikian, sesuai pengumuman Raja Salman, terjadi defisit anggara sebesar 145 miliar riyal (US$ 38,6 miliar). Inilah defisit anggaran terbesar yang mengawali terjadinya badai bagi istana kerajaan.
Hingga sekarang, alih-alih sikap percaya diri itu membuahkan hasil, jika tidak mengambil keputusan yang tepat dan cepat, ekonomi Riyadh akan “menghantam tembok”. Raja Salman pun menarik dana yang ‘parkir’ di luar negeri. Dia juga mengintruksikan jajarannya untuk menghentikan semua proyek baru, menghapus pembayaran kompensasi bagi properti, dan sebagainya.
Lalu bagaimana nasib ganti rugi bagi ratusan korban crane dari berbagai negara, termasuk Indonesia? Meski telah diingatkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, namun sepertinya nasib dapur sendiri yang diprioritaskan Riyadh.
Dibanding membuat warganya menderita dengan kenaikan pajak, Riyadh lebih memilih memangkas sejumlah pengeluaran. Perlu diingat bahwa Saudi termasuk negara yang sangat royal terhadap warga negaranya. Selain memberikan subsidi listrik, gas dan air, masyarakat juga sama sekali tidak dikenakan pajak penghasilan.
Namun, jika defisit transaksi tahun lalu tidak berubah, dan terulang tahun ini atau lebih buruk, bagaimana? Opsi pajak penghasilan, di saat genting seperti ini, menjadi salah satu pilihan realistis. Jika ini diterapkan, dampak yang perlu diperhatikan ialah ketidakstabilan politik dalam negeri. ‘Musim Semi Arab 2011’ yang telah menjatuhkan sejumlah penguasa itu bisa saja terulang kembali. Krisis ini tak kalah menakutkan bagi kerajaan.
Selain anggaran belanja sosial, anggaran militer Riyadh pun sulit untuk dipangkas. Bukankah hingga kini Riyadh belum bisa mencapai kemenangan atas rakyat Yaman yang diperanginya? Bagaimana nasib misi militer Riyadh dan koalisinya yang ingin menjatuhkan presiden terpilih Bashar Assad?
Walhasil, keputusan menyerang Yaman mendapat reaksi keras dari internal keluarga kerajaan sendiri. Terkurasnya keuangan Riyadh oleh perang atas tetangganya itu, kata salah satu pangeran, membuat warga Saudi muak melihat negara Arab terkaya membombardir negara termiskin, secara berlebihan. Putra raja yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan dinilai terjebak blunder dalam menyikapi Yaman.
“Pangeran Muhammad bin Salman telah membuat onar di Yaman tanpa strategi atau opsi yang matang. (Sedemikian sehingga) telah menguras banyak dana dan korban jiwa, krisis kemanusiaan dan datangnya kritik dari dunia internasional,” kata suatu surat warga Saudi yang dipublikasikan The Guardian setahun silam.
Mengabaikan tuntutan internal yang serius itu, membuka kemungkinan berulangnya aksi Raja Faisal memaksa Raja Saudi turun pada 1964. Bahkan mungkin, Raja Salman bisa saja senasib dengan Raja Faisal yang dibunuh oleh keponakannya sendiri. Sekali lagi, pengalaman ini perlu dipertimbangkan mengingat pertikaian dalam internal kerajaan bukan hal yang baru.
Dalam situasi genting ini, Riyadh tidak hanya mengandalkan gerak cepat pemerintahannya. Untuk menopang anggaran perang melawan Yaman, Mufti Agung Saudi Syekh Abdul Aziz As Syekh menyerukan penggalangan dana untuk menopang tentara Riyadh di perbatasan Saudi dan Yaman.
Seperti diketahui jamak, ulama pendukung kerajaan Saudi secara ideologis mengajarkan Wahabisme. Karakteristik utama ideologi ini ialah sikap takfir (senang mengkafir-kafirkan) yang secara praktis telah dilakukan oleh kelompok garis keras seperti ISIS. Ya, kelompok inilah yang menggunakan segala cara untuk menjatuhkan pemerintah Assad seperti yang diinginkan Riyadh dan sekutunya.
Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin jika terjepitnya ISIS di Suriah dan Irak saat ini juga akibat keterpurukan ekonomi Saudi. Bagaimana dengan Indonesia? Tidak juga menutup kemungkinan, apalagi tidak sedikit kelompok atau ormas yang gerakannya berbasis ‘Riyadh funding’. Kolumnis dan aktivis pro-demokrasi seperti AE Priyono pun melihat ada ‘perubahan’ pada mereka yang selama ini rutin menggelar kampanye bernada ‘takfiri’ seiring merosotnya kesehatan ekonomi kerajaan. Sudah lama, katanya, tidak lagi ada orang mendengar suara anti-Ahmadiyah dan anti-Syiah. “Ke manakah orang-orang itu? Apakah ada kaitan dengan krisis finansial di Arab Saudi?” tanya Priyono dalam status di media sosialnya. []
YS/IslamIndonesia