NKRI NEWS - Kabar tewasnya gembong teroris paling dicari, Abu Wardah alias Santoso, sudah menyebar ke pelosok nusantara. Santoso dan sat...
NKRI NEWS - Kabar tewasnya gembong teroris paling dicari, Abu Wardah alias Santoso, sudah menyebar ke pelosok nusantara. Santoso dan satu anak buahnya yang disebut-sebut bernama Mukhtar tewas dalam baku tembak dengan pasukan Yonif 515 rider Kostrad di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Senin (18/7). Tiga anggota kelompok Santoso berhasil melarikan diri.
Pemerintah meyakini, dengan tewasnya Santoso, ruang gerak anak buahnya semakin sempit. Apalagi mereka telah kehilangan pemimpinnya. Namun bagi polisi, tewasnya Santoso tidak serta merta membuat tim Satgas Tinombala bernapas lega. Sebab, muncul nama Ali Kalora yang disebut-sebut pemimpin kelompok pecahan Santoso.
Dia memiliki 16 orang pengikut yang saat ini masih terus diburu tim satgas Tinombala. Belum lagi, tangan kanan Santoso yakni Basri, berhasil meloloskan diri dari baku tembak.
"Masih ada Basri, masih ada beberapa, Ali Kalora," ujar Jenderal Tito di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (19/7).
Ali Kalora salah satu pengikut setia Santoso. Nama Kalora merupakan sebutan untuk Ali karena lahir Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, sekitar 40 kilometer utara Kota Poso.
Ali Kalora sudah lima tahun terakhir bergabung dengan jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso. Dia mengikuti pelatihan militer bersama anak buah Santoso lainnya. Sepak terjang Ali Kalora cukup mengejutkan. Dia terlibat dalam peristiwa penembakan polisi di pos polisi, Jalan Emi Saelan, tepatnya di depan Kantor BCA Palu.
"Ali salah satu tangan kanan Santoso. Orang asli (Kalora). Sudah lama dia sana (mengikuti Santoso), sudah mulai sejak Santoso melakukan teror tahun 2011," kata Karo Ops Polda Sulteng Kombes Pol Herry Nahak ketika dihubungi merdeka.com, Selasa (19/7).
Selama melarikan diri dan masuk ke dalam hutan, Santoso ditemani istri keduanya, Umi Delima. Ali Kalora juga menyertakan istrinya dalam pelariannya. Kelompok pimpinan Ali Kalora terpisah dengan kelompok yang dikomandoi Santoso. Namun mereka masih satu kesatuan jaringan. Kemampuan mereka hampir sama dengan kelompok Santoso. Salah satunya kemampuan menguasai wilayah hutan dan sesekali turun gunung dan menebar teror.
"Ada belasan orang, 14 orang dan mereka ini anak buahnya Santoso. Kemampuan di hutan sih sama. Sudah bertahun-tahun di situ kan," tegasnya.
Tewasnya Santoso tidak membuat kelompok ini ciut. Mereka akan terus bertahan dan melanjutkan aksi menebar teror.
"Ancaman saya kira sama dengan Santoso. Ideologi sama dan ancaman kurang lebih sama, paling serius turun ke kampung buat teror. Yang buat takut kan karena todong senjata. Ancaman paling dekat mungkin itu, tapi dengan ketiadaan pemimpin seperti ini ya kita harap bisa lebih mudah," katanya.
Ali Kalora dan pola regenerasi teroris
Jaringan terorisme di Indonesia seolah tak ada habisnya. Meski sejumlah nama gembong teroris sudah tewas di tangan polisi, selalu muncul nama baru yang melanjutkan aksi mereka. Tewasnya dr Azari, Nurdin M Top, Dul Matin, hingga Santoso, tidak serta merta memutus regenerasi jaringan kelompok teroris.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan, sepanjang gerakan radikalisme tumbuh subur di Indonesia, sejauh itu pula gerakan terorisme tetap ada. Pergerakan terorisme tidak bisa hilang sama sekali jika radikalisme yang mengatasnamakan agama terus menguat.
"Untuk hilang sama sekali belum. Waktunya masih lama. Selama paham radikalisme muncul, maka potensi terorisme ada," kata Ansyaad ketika berbincang dengan merdeka.com.
Soal kemunculan Ali Kalora sebagai pemimpin baru jaringan Santoso, Ansyaad belum menganalisanya. "Itu kan dari media yang muncul. Muncul analisis baru," tutupnya.(Merdeka.com)