Karier Najwa Shihab sebagai host televisi kian moncer. Namun tak sedikit yang mempertanyakan, kenapa hingga sekarang presenter cantik ini ...
Karier Najwa Shihab sebagai host televisi kian moncer. Namun tak sedikit yang mempertanyakan, kenapa hingga sekarang presenter cantik ini tidak berhijab. Padahal dia adalah putri salah satu ulama besar Nusantara, ahli tafsir Alquran, Prof Dr Quraisy Shihab.
PANGGILAN dari SURAU – Siapa yang tak kenal Najwa Sihab, 38, presenter tenar dari sebuah acara talkshow salah satu stasiun TV swasta di Indonesia. Namun, sebagai anak wanita dari seorang ulama yang tersohor di indonesia, banyak yang mempertanyakan cara berpakaian hostMata Najwa di, MetroTV ini.Nana – panggilan Najwa Shihab – hingga saat ini tidak mengenakan jilbab.Pertanyaan yang “wajar” mengingat dia bukanlah wanita biasa. Dia adalah putri kedua dari seorang ulama, ahli tafsir, mantan rektor, mantan Dubes RI untuk Mesir sekaligus mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII di era Soeharto, Prof Dr Quraisy Shihab yang wajahnya hingga kini masih sering tampil di sejumlah di layar kaca.Ia juga keponakan dari Dr Alwi Shihab, mantan Menko Kesra (kabinet SBY) yang pernah “berseteru” dengan dirinya saat peristiwa tsunami Aceh Desember 2004.
Memang benar, wanita kelahiran Makassar 16 september 1977 ini hidup dalam lingkungan keluarga yang religius dan demokratis. Nana kecil, saat di Makassar, sudah masuk TK Al-Quran. Dia masih ingat betul, kalau melakukan kesalahan, sang guru memukulnya dengan kayu kecil. Sekolah Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hidayah (1984-1990), lalu SMP Al-Ikhlas, Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pada 1990-1993.
Aktivitas sampai SMU, dipimpin ibunya, Nana dengan lima orang saudaranya sejak magrib harus ada di rumah. “Jadi berjamaah magrib, ngaji Al-Quran, lalu ratib Haddad bersama. Itu ritual keluarga sampai saya SMU.” Setelah kuliah, karena banyak kegiatan, Nana baru boleh keluar setelah magrib.
Keluarganya memang sangat memprihatikan faktor pendidikan. “Pendekatan pendidikan di keluarga tidak pernah dengan cara-cara yang otoriter. Saya rasa itu sangat mempengaruhi, bagaimana pola didik orang tua ke anak akan mempengaruhi perilaku,” ujarnya.
Pendidikan, bagi keluarga Shihab, adalah nomor wahid, tidak bisa ditawar-tawar. Dulu waktu kelas dua SMU, Nana dapat kesempatan AFS (America Field Service), program pertukaran pelajar ke Amerika. Sempat keluarga menolak karena harus melepas selama setahun anak cewek yang baru usia 16 tahun tinggal di keluarga asuh. “Sempat terjadi perdebatan keluarga. Waktu itu yang paling mendukung ayah saya. Apa pun untuk pendidikan akan diperbolehkan, dalam usia itu pun beliau sudah memberikan kepercayaan, walaupun di sana dia sudah dibekali agama, mereka percaya shalatnya tidak akan ditinggal. Dan alhamdulillah saya bisa menjaga kepercayaan itu,” cerita Nana.
Sekembali ke Tanah Air, Nana menyelesaikan SMA nya dan sukses menembus bangku kuliah UI melalui jalur PMDK, jalur tanpa tes Sipenmaru. Dia diterima di Fakultas Hukum UI dan lulus tahun 2000.
Quraish Shihab, pakar tafsir Alquran itu, bagi Nana, adalah sosok bapak yang santai. “Seneng joke-joke Abu Nawas, ketawa-ketawa,” kisahnya. Jadi beliau, kata Nana, membebaskan pilihan kepada anak-anaknya untuk sekolah ke mana saja.
Tidak hanya persoalan pendidikan, kebebasan juga diberikan oleh sang bapak untuk menentukan pasangan hidupnya. “Bahkan saat saya memutuskan untuk nikah muda, 20 tahun, ayah memberi kepercayaan. Bagi beliau yang penting kuliah selesai.” Menjelang pernikahan, kata Nana, keluarga sempat ragu, tapi karena pengalaman kakak yang nikah saat usia 19 tahun akhirnya diizinkan. Tapi sebelum itu mereka sekeluarga umroh dulu. “Di sana ayah bertanya, ‘udah mantep?’ saya jawab, ‘udah’. Ya sudah diizinkan,” tutur Nana.
(Ketika masih kuliah itulah, Nana bertemu dengan Ibrahim Sjarief Assegaf, seniornya di Fakultas Hukum UI dan sesama aktivis kampus ketika itu. Ibrahim adalah pemuda asal Solo keturunan Arab – kini menjadi lawyer sebuah firma hukun ternama ibukota. Keduanya saling tertarik sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah muda. Saat itu Ibrahimmasih semester 6, sementara Nana masih berusia 20 tahun. Pernikahan digelar di Solo pada 1997. Tahun 2001, keduanya dianugerahi bayi laki-laki yang akrab dipanggil Izzat).
(Menjelang akhir kuliah dan sambil menulis skripsi, Nana magang menjadi reporter di RCTI. Tahun 2001 ia memilih bergabung dengan Metro TV karena stasiun TV itu dinilai lebih menjawab minat besarnya terhadap dunia jurnalistik. Untuk mendalami dunia jurnalistik yang sudah terlanjur menyatu dengan jiwanya, pada tahun 2008 ia terbang ke Australia mendalami hukum media, berkat raihan Full Scholarship for Australian Leadership Awards).
Jilbab Bukan Keharusan
Kendati dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. Menurut Nana, kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga tidak apa-apa. “Saya sih seperti itu dan saya percaya itu.”
Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah terhormat. Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang berjilbab sangat terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal itu.
Menurut Nana, yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk terhormat selain dengan jilbab. “Tidak pernah ada keharusan untuk berjilbab,” ucapnya.
Dengan cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang komplain. “Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya membolehkan, membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah saya. Kalau ada yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang: ya Insya Allah mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok.”
Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai jilbab, mungkin suatu saat. “Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban atau beban untuk berjilbab,” katanya, “Karena sejauh saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak.”
Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak terpengaruh. Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada pada jalur yang benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan memakainya.
“Apa yang dilakukan orang kan bukan berarti kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian saya ikut. Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu,” ujarnya sebagaimana dilansir Majalah Syir’ah.
Benarkah Quraisy Shihab tidak Mewajibkan Putrinya untuk Berjilbab?
Dalam sumber ini disebutkan bahwa Quraisy Shihab termasuk bagian dari sejumlah orang yang menempatkan berjilbab (menutup aurat) pada posisi khilafiyah, sebagaimana ditulisnya dalam sebuah buku berjudul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer di tahun 2006.
Menurut Quraisy, ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi. Selain itu, ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy atau dugaan semata.
Quraisy juga bersikap, bahwa adanya perbedaan pendapat para pakar hukum tentang batasan aurat adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar saja.
Dari pendapat tersebut pulalah kemudian Quraisy Shihab dicap oleh sebagian orang sebagai penganut dan penyebar ajaran Syi’ah yang militan di Indonesia.
Soal benar dan tidaknya tuduhan tersebut, barangkali sikap demokratis ayahnya itulah menjadikan Najwa Shihab (belum) berjilbab hingga sekarang seperti yang selalu kita lihat saat tampil di layar kaca. Wallahu a’laam. (pds)
Dari berbagai sumber:
Abd. Ghofar Al Amin, via kompasiana.com
rivermaya, via kaskus.co.id