NKRI NEWS – Isu kebangkitan komunisme atau PKI kembali menghangat usai diadakan simposium nasional yang membahas tragedi kemanusiaan 1...
NKRI NEWS – Isu kebangkitan komunisme atau PKI kembali menghangat usai diadakan simposium nasional yang membahas tragedi kemanusiaan 1965. Pihak-pihak yang diduga terlibat dalam tragedi kemanusiaan 1965 dan sesudahnya segera melakukan reaksi dengan menggelar simposiun tandingan. Kegiatan simposium tandingan ini diselenggarakan Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) dan sejumlah ormas radikal yang mengaku menjunjung tinggi Pancasila.
Pancasila dipersepsikan sebagai ideologi negara yang terancam keberadaannya oleh ideologi komunis atau PKI. Kebangkitan komunisme dan PKI merupakan lagu lama yang senantiasa akan diputar ulang oleh pihak-pihak yang berkepentingan menyembunyikan fakta-fakta kekejaman dan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 1965-1966.
Pada hal, pemerintah Jokowi memiliki maksud dan tujuan agar bangsa Indonesia tidak terus dibebani masalah di masa lalu, menyangkut terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pada 1965-1966. Para jenderal-jenderal purnawirawan Angkatan Darat seharusnya membantu memulihkan nama baik Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Penyelesaian tragedi kemanusiaan 1965-1966 demi kebaikan bangsa dan negara amat penting di mata masyarakat internasional supaya Indonesia tidak dituduh sebagai bangsa tak beradab karena menutup-nutupi pembantaian massal.
Para purnawirawan TNI AD dan ormas-ormas radikal ini seharusnya sadar akan perkembangan globalisasi, ilmu pengetahuan, teknologi informasi serta komunikasi. Di dunia ini sudah tidak ada tempat bersembunyi bahkan untuk menghapus jejak hitam di masa lalu. Kondisi saat ini bukan seperti era Perang Dingin dimana berbagai kejahatan kemanusiaan bisa ditutup-tutupi.
Sebagai contoh, Kekalifahan Turki Ottoman yang melakukan pembantain massal pada rakyat Armenia pada 1915 dimana korban tewas mencapai sekitar 1,5 juta. Jerman, Perancis, Rusia dan Brasil merupakan negara-negara yang mengakui secara resmi terjadinya pembantaian massal Turki kepada rakyat sipil Armenia. Meskipun kejadiannya seabad yang lalu, pemerintah Turki tidak bisa lari kemana-mana atas tuduhan ini.
Demikian juga Amerika Serikat (AS), keterlibatan Badan Intelejen Amerika Serikat CIA dalam pembunuhan massal di Amerika Latin seperti Guatemala pada 1954 menewaskan 200.000 orang dan di Haiti pada 1959 yang menewaskan sekitar 100.000 orang. Pembunuhan massal itu dilakukan CIA dengan cara memperalat dan mendanai kelompok militer yang dipimpin diktaktor yang didukung AS. Operasi rahasia ini bertujuan menumpas orang-orang komunis di Guatemala dan Haiti.
Apa yang terjadi di Guatemala dan Haiti itu mirip yang terjadi di Indonesia dimana TNI AD dijadikan alat AS untuk membunuh orang-orang yang dituding PKI atau pengikut Soekarno. CIA, Kedubes AS dan oknum-oknum militer menyusun skenario kudeta dengan cara mengkambinghitamkan PKI dan para pendukung Soekarno. Lalu setelah PKI dilumpuhkan maka dibentuk rezim militer Orde Baru Soeharto yang kemudian didukung penuh oleh AS.
Skenario Amerika
Isu komunisme atau PKI akan selalu digunakan AS dan militer untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah yang dipilih secara demokratis. Indonesia yang memilih Jokowi sebagai presiden secara demokratis juga tidak luput dari ancaman skenario ini. AS akan menyiapkan skenario penggulingan kekuasaan baik dengan cara memicu kekerasan berdarah dan “kudeta konstitusional”.
Di Indonesia kedua praktik penggulingan kekuasaan ini sudah pernah dilakukan. Pada masa Soekarno dilakukan kudeta merangkak yang dipimpin Soeharto dengan membunuh 600 ribu hingga 3 juta orang. Sementara pada masa Gus Dur dilakukan kudeta konstitusional dengan cara pemakzulan Gus Dur oleh Amien Rais, Akbar Tanjung dan sejumlah jenderal TNI AD. AS mendalangi dua kudeta di Indonesia karena kedua pemimpin ini tidak mau tunduk dan ingin mewujudkan kemandirian bangsa.
Pemerintah Jokowi juga harus berhati-hati dengan skenario kudeta ataupun tindak kekacauan yang dirancang oleh Amerika Serikat selaku “The Invisible Hand”. Jokowi telah mendekati China dan Rusia agar berinvestasi di Indonesia. Kunjungan Jokowi ke Rusia dan penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi ASEAN-Rusia menunjukkan Indonesia tidak ingin didikte oleh AS selaku superpower.
Selain itu, kesepakatan antara Indonesia-Rusia atas jual beli alutsista seperti pesawat tempur Sukhoi-35 dan kapal perang akan membuat marah AS. Jokowi juga ingin menggandeng perusahaan BUMN Rusia Rosneft dan Rusal agar Indonesia bisa membuka kilang minyak baru dan tidak sekedar mengekspor bahan mentah bouksit. AS berkepentingan Indonesia hanya menjadi eksportir bahan mentah sehingga tetap bisa didikte dan diatur-atur.
Jika Indonesia bisa membangun banyak kilang minyak baru dan mampu mengekspor barang jadi maka perekonomian Indonesia lebih mandiri sehingga Indonesia tidak mudah didikte oleh negara manapun. Indonesia juga mengundang investor China dan Rusia agar tidak hanya tergantung dengan negara-negara Barat saja.
Kekacauan
AS tampaknya akan berupaya memicu konflik SARA ataupun menjadikan komunisme sebagai kambing hitam jika Indonesia ingin mewujudkan kemandirian ekonomi dan enggan didikte. Dari zaman Soekarno hingga era reformasi polanya tidak berubah yakni memicu ketegangan agama dan rasial. Ekskalasi ketegangan diciptakan untuk mempertajam konflik, setelah memanas dicari momentum yang tepat untuk memicu konflik berdarah.
Momentum hari besar agama atau hari-hari yang dinilai memiliki makna historis bagi bangsa Indonesia akan dijadikan waktu yang teat membuat chaos atau kekacauan di masyarakat. Isu SARA adalah bensin paling ampuh untuk membakar kemarahan dan amuk massa. Ini semua dilakukan agar Indonesia tidak pernah berkembang menjadi negara yang kuat dan bersatu padu.
Sepak terjang mantan Jenderal TNI AD Kivlan Zen yang terus menerus memprovokasi kebencian pada PKI menjadi indikasi bahwa skenario ini mungkin sedang dijalankan. Kivlan adalah seorang jenderal purnawirawan TNI AD ang pernah mengenyam pendidikan/pelatihan di Advance Georgia, AS (1982). Ia bertindak sebagai corong atau melakukan propaganda dengan tujuan mempertajam konflik di masyarakat lewat pernyataan-pernyataan kontroversial tentang PKI.
Ia mengatakan PKI telah berdiri dan beranggotakan 15 juta orang yang dipimpin Wahyu Setiaji. Rumor atau isu seperti ini sengaja ditebarkan untuk mendidihkan kemarahan masyarakat. Tujuan akhirnya adalah memicu konflik dan kekacauan di masyarakat.
Maka bukanlah suatu kebetulan jika Kivlan Zen berpidato menggebu-gebu di pertemuan Umat Islam Solo untuk menentang ancaman bahaya komunisme beberapa hari yang lalu. Pidato di Solo ini bernuansa politis karena ingin menyampaikan pesan bahwa Solo dulunya merupakan markas PKI. Panggung yang digelar untuk rapat akbar ini di depan gereja dan saat ini Solo juga dipimpin seorang walikota non-muslim menunjukkan Kivlan ingin memicu konflik SARA.
Kivlan Zen akan terus berupaya memprovokasi dan mengadu domba kelompok-kelompok masyarakat dengan tujuan akhir ingin menciptakan konflik dan memecah belah masyarakat. Isu SARA dan komunisme merupakan bensin yang siap disulut di tengah-tengah masyarakat. Jika terjadi kerusuhan maka PKI atau komunis akan kembali dijadikan kambing hitam.
Belajar dari pengalaman sejarah, maka kelompok-kelompok ormas agama radikal dan ormas dengan kelakuan preman akan menjadi pelaksana atau pemicu terjadinya kerusuhan SARA atau komunisme. Misalnya dengan melakukan pembakaran dan perusakan rumah tempat ibadah. Oknum-oknum militer fasis ini akan bermain mata dengan ormas-ormas radikal melakukan propaganda dan penghasutan untuk memanaskan suasana.
Hal-hal seperti inilah yang harus segera diantisipasi baik oleh masyarakat itu sendiri ataupun para penegak hukum. Indonesia yang demokratis harus diselamatkan dari para pengacau ini dan begitu pecah konflik bernuansa SARA, kita semua tahu siapa-siapa saja pihak yang sebenarnya sedang bermain. Kewaspadaan masyarakat perlu ditingkatkan agar tidak mudah diprovokasi melakukan kekacauan dan melakukan amuk massa.
Skenario membentuk kelompok-kelompok ormas radikal dan mazab keagamaan dengan penafsiran yang keras, puritan dan literal dipahami dalam persepektif seperti ini. Ini merupakan agenda global untuk menciptakan konflik. Salah satu tujuannya supaya Indonesia tidak stabil dan mudah terpecah belah.
AS telah memainkan skenario seperti ini sejak era Soekarno hingga sekarang. Ormas kegamaan radikal, ormas yang bertindak seperti preman dan oknum-onum militer akan bahu-membahu dalam mensukseskan skenario yang dimainkan AS untuk memecah belah Indonesia. AS berkepentingan Indonesia tetap menjadi negara yang bisa didikte dan diatur-atur sesuai dengan kepentingan nasionalnya, jika berusaha menjadi negara yang mandiri maka pemimpinnya akan digulingkan dengan segala cara.
Skenario ini juga sedang dimainkan pemerintah AS di Amerika Latin yakni memicu kekacauan di Venezuela dan mendukung kudeta konstitusional di Brasil. Baik Presiden Brasil Dilma Rousseff maupun Presiden Venezuela Nicolas Maduro ingin mewujudkan kemandirian bangsa dan tidak ingin negaranya melayani kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional atau korporasi AS.