NKRI NEWS - Saya sejujurnya iri berat dengan orang satu ini. Dia sedikit jauh lebih muda. Kelahiran Kudus 1973, sama-sama dari UI, tapi ...
NKRI NEWS - Saya sejujurnya iri berat dengan orang satu ini. Dia sedikit jauh lebih muda. Kelahiran Kudus 1973, sama-sama dari UI, tapi berbeda dengan beberapa tokoh politik praktis dari UI, khususnya Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Ia lebih pandai menempatkan diri, dan jauh lebih berani mengambil sikap secara independen.
Sebagai angkatan muda NU, ketika orang-orang alergi terhadap Golkar, dan memilih bergabung dengan partai-partai baru, Ia justru memilih bergabung dengan partai warisan Orde Baru itu.
Namun ketika Partai Golkar, menjadi motor utama Koalisi Merah Putih, ia berani mbalelo memilih bergabung sebagai pendukung Jokowi. Hingga akhirnya justru Partai Golkar yang megap-megap, lalu mau bergabung sebagai pendukung pemerintah, tanpa berharap syarat dan konsesi apapun. Ia minimal punya karakter dan berintegritas.
Anak ini, memang menjadi antitesis dan sering dijadikan ajang fitnah. Bahkan dari sisi nama-pun, ia dianggap memanipulasi agar mirip dengan KH Abdurrachman Wahid (Gus Dur). Padahal ia memang sama sekali tak berhubungan darah, ia hanya ngefans dan berhubungan baik.
Menjadi wajar, bila ia bersikap nyleneh seperti Gus Dur: shalat di Gereja, menjadi garda depan penentang FPI, bahkan bersikap keras terhadap Fahri Hamzah yang merepresentasikan dirinya sebagai benteng PKS (sebelum ia tersingkir karena justru dianggap bikin malu).
Jadi bila dalam hari-hari ini, ia menjadi pembela Ahok dalam kasus viral surat Al Maidah ayat 51, itu bukan ujug-ujug atau mencari momentum popularitas. Bahwa ia kemudian justru dibelokkan dianggap menghina para ulama, saya pikir itu, juga bukan tanpa perhitungan, karena ia berani membenturkan dirinya dengan MUI. Lembaga yang makin hari justru merosot pamor, kemanfaatan, dan kredibilitasnya itu.
Realitasnya, di hari-hari ini, di saat yang nyaris bersamaan ketika Arab Saudi makin merosot kondisi politik, ekonomi, dan sosialnya. Setelah mengganti kalender Hijriah ke Masehi, lalu diikuti penjualan saham perusahaan minyak Aramco ke bursa efek New York, dan sikap bengis militernya menindas tetangganya Yaman, si negara miskin dan dhuafa secara militer itu. Pamor Saudi nyaris habis, dan tentu saja para Wahabiers pendukungnya di Indonesia tak ingin segera kehilangan pamor.
Mereka sadar bahwa penguatan peran Wahabies di Indonesia bisa kehilangan momentum, maka dimainkanlah berbagai isu dengan menyitir berbagai ayat di sosial media atau pergaulan riil masyarakat. Dan disinilah, Nusron Wahid hadir sebagai salah satu yang ngerti betul situasinya.
Sebenarnya sama sekali ia tidak sedang pasang badan untuk Ahok, ia sedang membela NKRI dan Pancasila yang sedang dirongrong habis oleh sebagian kalangan dengan mengatasnamakan keyakinan agama.
Bagi saya, untung masih ada Nusron, yang bagaimanapun juga mewakili sebagian hati nurani dan aspirasi yang tulus dari warga negara ini demi tegak terusnya bangsa ini!
Tentang yang sedang marah-marah dan kebakaran jenggot itu: apa sih yang membuat mereka tidak gampang tersinggung? Saya yakin kepongahan mereka akan tertilap dan tersapu oleh omongan mereka sendiri. (*)
Andi Setiono Mangoenprasodjo, Mantan Dosen Universitas Indonesia.