NKRI NEWS - Belakangan banyak opini liar yang menyebut memilih Ahok haram hukumnya, masuk neraka. Rujukan mereka adalah surat Almaidah 5...
NKRI NEWS - Belakangan banyak opini liar yang menyebut memilih Ahok haram hukumnya, masuk neraka. Rujukan mereka adalah surat Almaidah 51. Saya ditanya sama banyak orang, benar apa tidak? Lalu saya jawab “ya lihat saja surat Almaidah ada nyebut nama Ahok ga,” nyantai. Langsung saya diomelin macam-macam, sebab mereka sedang serius bertanya. Haha
“Oke begini, di Alquran tidak dibahas pemilu seperti Pilkada. Caranya juga tidak dibahas, aturannya tidak ada. Lalu kenapa kita mau membahas boleh tidaknya memilih Ahok? Lah wong Alquran tidak bahas Pilgub,” jawab saya lagi. Eh malah diomelin lagi. Wkwkkee
Oke serius, Alquran adalah kitab suci ummat Islam. Pada tujuannya, Alquran turun untuk menjadi tuntunan dan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya seperti taurat dan injil yang sudah diubah oleh orang-orang Yahudi pada masa lalu. Yang dengan begitu secara otomatis mereka memberi peluang bagi Allah untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Untuk itu kemudian turunlah ayat 51 dalam surat Al-maidah yang pada intinya adalah, jika sikap mereka seperti itu, maka jangan jadikan para Yahudi itu sebagai awliya’ bagi kita.
Awliya’ ini yang kemudian diartikan sebagai pemimpin dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia, yang kemudian digunakan oleh kelompok Islam garis primitif nan goblok untuk kampanye menolak Ahok.
Padahal dalam tafsir Almisbah, awliya’ secara bahasa berarti kata jama’ dari wali. Wali dalam arti istilah adalah orang yang paling dekat. Misal wali nikah, adalah orang paling dekat dengan mempelai perempuan. Walikota, adalah orang yang seharusnya paling dekat dengan masyarakat kota.
Orang yang paling dekat dengan kita adalah orang yang paling cepat memberi bantuan pada kita. Sehingga kemudian diartikan sebagai pemimpin atau penolong.
Padahal begini, wali nikah untuk perempuan pada fungsinya adalah orang yang bisa melindungi anak gadisnya dari lelaki yang tidak jelas. Karena dia adalah yang paling dekat.
Wali Allah, seperti walisongo di Indonesia, mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Allah.
Dari sinilah kemudian arti wali yang jama’nya awliya’ kemudian tidak bisa diterjemahkan dengan satu istilah dalam bahasa indonesia menjadi: pemimpin.
Mungkin akan ada yang bertanya mengapa tidak bisa disederhanakan? Sebab beda bahasa, Arab dan Indonesia. Sama seperti banyak bahasa daerah yang tidak bisa disederhanakan ke dalam bahasa Indonesia. Contoh saja dalam bahasa Madura juko’ artinya ikan. Tapi kemudian tidak bisa diartikan sesederhana ikan dalam fungsi bahasa Indonesia yang berarti ikan. Sebab juko’ dalam bahasa Madura dapat digandengkan dengan sapi, kambing atau bentuk makan siap saji yang sama sekali bukan ikan. Juko’ kambing, artinya kan ikan kambing. Mana ada ikan berjenis kambing?
Di Madura juko’ bisa berarti lauk, namun juga tetap mewakili arti ikan dalam makna yang sesungguhnya, seperti nila, kakap dan sebagainya.
Itulah tafsir lintas bahasa, sebagaian kata tidak bisa diartikan begitu saja. Andai Alquran menggunakan bahasa Madura lalu ada ayat agar ummat Islam hanya boleh memakan juko’ dengan nasi mungkin sekarang kita akan berdebat bahwa sapi dan kambing itu dilarang Alquran. Padahal maksudnya tak boleh makan dengan sayur. Hahahaha
Oke lanjut, makna awliya’ adalah orang-orang yang terdekat dengan kita yang kemudian dijadikan sahabat. Kita dilarang menjadikan orang Yahudi -yang tidak mau ikut ajaran Allah dan hanya mengikuti tuntunan jahiliyah- untuk menjadi orang terdekat kita sehingga tidak ada rahasia dan batas antar kita dan dia (Yahudi-Nasrani).
Ada term and conditionnya, Yahudi atau Nasrani yang tidak mau ikut ajaran Allah dan hanya mengikuti ajaran jahiliyah, dengan kitab-kitab yang sudah diubah tadi.
Dari sini kemudian arti awliya’ tidak hanya pemimpin, tapi orang-orang yang dekat dengan kita. Tapi kalau tujuannya demi kemaslahatan bersama, itu tidak dilarang. Semisal contoh pilot pesawat, dia pemimpin di dalam pesawat. Jika ada dua pilihan, pilot Yahudi-Nasrani dengan jam terbang puluhan ribu jam, atau pilot muslim yang baru lulus kemaren, kalau kita bisa memilih mau pilih yang mana? Saya sih pilih yang Yahudi Nasrani tapi berpengalaman. Tapi kalau sampai di sini ada pembaca yang beda pendapat dengan ini, mungkin sebaiknya tak perlu lagi melanjutkan membaca tulisan saya.
Jika kita menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya. Ya sama seperti memilih pilot tadi, andai bisa memilih kan presentase kemungkinan selamatnya bisa berbeda. Tapi karena pilot biasanya sudah ditentukan, maka contoh yang lebih dekat adalah dokter spesialis. Misal keluarga anda sakit mau operasi, pilih mana, dokter Yahudi-Nasrani namun sudah ratusan kali mengoperasi atau dokter muslim yang baru lulus? Kalau saya memilih yang berpengalaman, terserah agamanya apa, sebab ini bukan lagi soal agama.
Selain itu, pemimpin daerah di Indonesia ini semuanya diatur UUD 1945. Konteks wali dalam arti pemimpin era kabilah dan demokrasi menjadi sangat berbeda sama sekali. Saat ini kita semua dilindungi hukum, sementara dulu tidak ada hukum tetap yang disepakati, itulah kenapa dulu ada wali, fungsinya melindungi orang-orangnya. Jadi misal kita hidup di jaman dulu, kita harus ikut memilih wali dan masuk di dalamnya, supaya tidak dilecehkan atau diganggu oleh orang Yahudi. Kalaupun masih dilecehkan, orang Yahudi tersebut akan diberi hukuman dengan pelindung kita, wali.
Nah kalau sekarang kan beda. Misal ada orang Jakarta bermasalah dengan orang Jawa Timur, gubernurnya tak perlu turun tangan mengurusi masalah tersebut dengan alasan melindungi warganya. Sebab semua sudah diatur dalam undang-undang.
Sampai di sini, dalam konteks yang seperti itu, sebenarnya surat Almaidah 51 tidak melarang kita untuk memilih Ahok. Pertama karena konteks dan makna tentang wali itu berbeda dengan Gubernur di era demokrasi. Kedua, Ahok memiliki pengalaman dalam memimpin kota.
Lalu apakah saya menyalahkan Alquran? Ada juga yang menuduh saya dianggap menyebut Alquran tidak relevan, padahal Alquran sempurna dan relevan sampai kiamat. Kalau ada yang pernah dengar seperti itu, fix mereka sapi-sapian. Saya tidak pernah menyebut Alquran tidak relevan, saya menyebut makna ayat dan konteksnya yang berbeda sehingga tidak relevan jika ditunjukkan pada posisi Gubernur di era demokrasi. Alqurannya tetap relevan, almaidah 51 tetap relevan, tapi dalam arti yang sebenarnya “bersahabat dekat atau bersekutu.” Itupun masih ada term and conditionnya, sudah saya bahas di atas jadi tak perlu diulangi ya.
Selanjutnya menarik untuk membahas menyerahkan sesuatu kepada yang bukan ahlinya akan menimbulkan keburukan. Salah satu contohnya soal tafsir Alquran ini. Lihatlah siapa yang menafsirkan dan siapa yang memberi penjelasan.
Saya menulis ini berdasarkan penjelasan Prof Quraish Shihab lewat tafsir almisbah, beliau sudah banyak menuliskan buku pemahaman tentang ajaran agama Islam yang diakui dunia, saya pernah tau sendiri sebab dulu saat kuliah di Malaysia banyak yang mengidolakan beliau. Prof Quraish juga termasuk 500 muslim paling berpengaruh di dunia. Saya pikir beliau satu-satunya mufassir Indonesia yang masih hidup saat ini.
Bandingkan dengan mereka yang merujuk referensi Jonru atau Felix, muallaf yang baru masuk islam, sehingga mudah terprovokasi dan mengkafir-kafirkan.
Yang inipun pilihannya jelas, anda mau pilih ikut dengan seorang mufassir yang kepakarannya diakui dunia atau ikut dengan orang yang baru belajar agama Islam? (seword.com)
Begitulah kura-kura.
BACA JUGA : Setan Juga Membohongi Kita Pakai Al-Qur’an Demi Kekuasaan