NKRI NEWS - Beban terberat yang dipundakkan pada setiap Muslim seantero jagad raya ini adalah klaim “rahmatan lil’alamin”. Begitu beratn...
NKRI NEWS - Beban terberat yang dipundakkan pada setiap Muslim seantero jagad raya ini adalah klaim “rahmatan lil’alamin”. Begitu beratnya beban itu, Muslim sebenarnya tidak cukup mumpuni untuk memanggulkannya disebabkan oleh banyak faktor.
Utamanya bahwa klaim “tidak Aku utus engkau (Muhammad) kecuali membawa rahmat bagi sekalian alam” tidak dibarengi juklak-juknis serta tidak didukung oleh faktor geografis yang menunjangnya. Sehingga Islam sebagai organize religion tidak cukup memenuhi klaimnya. Benarkah tesis statemen ini?
Menelusuri sketsa
Erich Fromm salah seorang filosof dan psikolog Freudian abad 20 dalam “Akar Kekerasan” menjelaskan; ketika bibit tumbuhan (yang semestinya unggul) tidak ditaman pada lahan subur dan penuh humus/penyubur. Bibit itu tidak akan pernah tumbuh dengan subur dan justru menjadi ganas”.
Begitu pula dengan Islam, banyak peneliti Barat maupun Timur yang menyatakan Islam adalah agama yang sangat modern pada zamannya, namun karena tidak cukup ditopang oleh iklim, geografis bahkan miliu sosialnya yang memadai, Islampun tidak tumbuh sesubur klaim besarnya itu, kecuali kuantitas.
Dalam Islam konvensional sendiri misalnya, ia secara geografis lahir di tengah Padang Pasir gersang dan tidak ada sumber-sumber alam yang dapat menopang kehidapan yang menggembirakan. Hanya 10 tahun terakhir ketika Imigran Muslim (Muhajirin) yang ditopang oleh kaum anshor (penolong) merampas ladang-ladang Yahudi di Yatrib (Madinah) dari suku Bani Nadzir, Quraidzah dan Qoinuqa, karena dianggap mbalelo dari piagam Madinahnya Muhammad.
Ia baru mengenal tradisi pertanian. Begitu gersangnya Arab Saudi “tempoe doeloe” sehingga bayangan sorga para Muslim awal itu menyerupai kebun-kebun dan sungai-sungai berair jernih bahkan sungai susu serta madu (opo rak pliket nek cewok) yang tidak pernah ditemui oleh Muhammad dan umat sezamannya.
Kesulitan mendapatkan sumber-sumber ekonomi dan panasnya iklim, membentuk karakter sosiologis Muslim Arab yang begitu keras. Mereka harus berani berperang dan menguasai harta suku-suku lain yang dianggap musuh. Muslim Aram sezaman dengan Muhammad, memiliki talenta mampu mencium bau jejak kaki sebuah kabilah atau suku yang melintas.
Jika dalam penciuman mereka atas satu klan menunjukan glagat suku sebagai suku kecil atau lemah, mereka akan mengejar dan memeranginya, ternaknya dirampas, laki-laki dewasa yang melawan dibunuh, kalau menyerah jadi budak, sedang perempuannya otomatis menjadi bagian budak yang halal disetubuhi tanpa bayar.
Bahkan klan Muhammad sendiri (Bani Hasyim), punya rival berat yang berpengaruh pada perkembangan Islam selanjutnya, yakni Bani Umayah yang merupakan klan tempat Utsman bin Affan sahabat nabi, serta Muawiyah bin Abu Sofyan pendiri dinasti Umayyah di Damaskus. Dua klan ini juga bersaing ketat.
Klan nabi menempati posisi terhormat karena menjadi kuncen ka’bah (batu kotak menyerupai kubus), sedang klan bani Umayah menjadi terhormat karena secara finansial lebih mapan. Itulah kenapa karakter orang Arab dan Arab KW yang mengcopy paste cenderung keras dan temperamen plus sering kali sumbu pendek.
Mereka sulit bertoleransi terhadap apa saja yang bertentangan dengan dogma klan, maupun dogma adat Arab yang sudah terkaburkan menjadi seakan dogma Islam.
Islam dalam dua teks sucinya (Qur’an dan Hadits) tidak cukup kaya dalam mengekplorasi keanekaragaman hayati utamanya flora dan fauna. Mereka tidak memiliki kekayaan biota di hutan-hutan, karena kenyataannya alamnya memang gersang. Binatang terkenalnya adalah binatang melata seperti ular-ular padang pasir, kecil tapi ganas, kala jengking dan serangga beracun lainnya.
Begitu ganasnya, mempengaruhi konsep haram dalam makanan. Misalnya sampai membunuh ular dan kalajengking adalah sunah Nabi yang dapat pahala jika dilakukan. Saking tidak kenalnya kekayaan jenis fauna, Belut Nusantara dianggap ular padang pasir yang diharamkan.
Islam yang dibawa Muhammad tidak cukup memiliki konsep pengelolaan hutan. Demikian tidak memiliki model pertanian yang kaya. Meraka tidak kenal micro organisma yang dapat menyuburkan tanah. Wawasan al-Quran dan hadits soal lingkungan cenderung miskin, Kutipan ayat soal lungkungan seringkali mentok pada “Kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia”.
Menurut saya tanpa wahyupun nenek moyang Nusantara telah mengenal hal itu. Demikian juga dalam hal variasi budidaya pertanian, Islam sangat miskin. Satu-satunya pengalaman nabi Muhammad di Madinah misalnya, ketika ia melihat petani di sedikit oase subur di Madina sedang mencangkok tanaman. Lalu hal itu ditanya hukumnya oleh Muhammad. Ia menjawab “Antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kamu lebih tau urusan duniamu).
Bagaimana mungkin agama yang lahir pada alam yang gersang mengklaim rahmatan lil’alamain?
Belajar rahmatan lil’alamin dari agama lokal
Pandangan kosmologis agama lokal nusantara, sebagai agama yang lahir di alam tropis yang subur dan sangat kaya ini, pada dasarya dibangun pada pondasi dua pondasi besar. Pertama, konsep dualism alam atas dan alam bawah. Alam atas sebagai bapak dan alam bawah sebagai ibu. Alam atas yang membuahi, alam bawah yang memberikan kesuburan.
Itulah kenapa mereka akan membangun harmoni antara alam atas dan alam bawah bagi komunitas Ammatoa dalam tidak boleh menginjakan kaki memakai sandal atau sepatu. Bahkan simbol merah putih yang dijumpai pada stupa Borobudur, sejatinya dimaknai merah sebagai bapak sedang putih sebagai ibu.
Dalam agama Marapu Sumba Barat misalnya mereka menyebut dengan “Lakara anawine (Maskulin) dan Lakara anamane (Feminim)”. Pandangan ini segera berubah setelah Indonesia dimeliterisasi simbol merah putih berubah menjadi merah berani putih suci.
Kedua, pandangan kosmologis “Trinitas”. Jika agama-agama besar dalam trdisi abrahamic religions menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme) sedang agama lokal menganut kesimbangan jiwa. Yakni tiga jiwa dalam satu (Trinitas).
Ketiganya merupakan satu-kesatuan utuh dan saling melengkapi. Sebab tanpa kekuatan penyatuan itu bangsa-bangsa Nusantara akan kehilangan keseimbangannya. Apa yang tiga jiwa itu? Jiwa manusia (anima intellective), jiwa tumbuhan (anima vegetative) dan jiwa hewan (anima sensitive).
Dalam pandangan kosmologis agama lokal nusantara menegaskan, manusia tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya dukungan binatang. Pun demikian manusia tidak mempunyai kekuatan tanpa adanya jiwa tumbuhan.
Tiga jiwa yang harus dilindungi tersebut dalam agama Marapu, sering diungkapkan dalam lantunan ritual Wulla Podu oleh imam tertinggi (Rato Rumata) melalui penanaman pohon pelindung yakni “Lakara Pogomawo” atau “Tauna Marapu Kalada”.
Orang Jawa misalnya mengatakan “urip ki urup”. Hidup itu menghidupi. Demikian juga suku bangsa nusantara lainnya dengan kehalusan bathinnya meraka akan membangun harmoni dengan alamnya sekiatnya. Tegasnya dalam agama lokal jangankan pada sesama manusia pada hewan dan tumbuhanpun harus saling melindungi dan dirituali masing-masingnya tanpa menganggap musyrik antara satu dengan yang lainnya.
Agama lokal tidak hanya saling melindungi, melainkan menghidupi dan memberikan makan atau sesajen (sajen berasal dari kata sajian). Karena ketiga jiwa alam itu memerlukan makanan maka makanan harus dibagikan. Tradisi sajen, kita temukan pada seluruh agama lokal nusantara dengan metode dan alat yang berbeda-beda.
Orang Jawa dan Sunda dalam hal sesajian ini kurang lebih memiliki kesamaan logika yakni memberikan alam kekuatan dan keseimbangan melalui makanan dan ritual sukuran.
Sesajen dalam tradisi Kejawen misalnya berisi bubur merah (manis) bubur putih (gurih), bawah putih, bawang merah, cabai yang ditusuk, dan tidak jarang memakai darah ayam atau juga ingkung kemudian lampu dan diletakkan di tempat penguburan ari-ari, demikian juga di pematang sawah dekat aliran air yang mengalir di sawah serta di pohon-pohon besar.
Bagi orang Islam puritanis atau traidis Islam moderan seperti Muhammadiyah misalnya, ritual seperti itu dimusyrikan atau dianggap memenuhi unsur takhayul, bid’ah dan churafat (TBC). Namun ternyata tradisi sesajen memiliki pijakan saintifik untuk pertanian organic modern.
Jika anda menginginkan makanan sehat anda harus memakan makanan organik alias tidak pakai zat kimia yang jahat. Ritual sajen yang dibuat orang Kejawen ternyata memenuhi unsur makanan yang dibutuhkan oleh mikro organisme yang mampu menggemburkan dan menyuburkan tanah pertania, demikian juga tanah tempat pohon tumpuh sebagai penyimpanan cadangan air.
Demikian juga dalam agama Sunda Wiwitan misalnya, mereka tidak pernah membasmi hama ataupu gulma dengan menggunakan pestisida atau racun rumput lainnya. Orang Sunda Wiwitan memiliki tradisi Sarentaun. Salah satu peristiwa ritual sarentaun adalah pesta dadung yang diikuti dengan membuang hama atau lebih tepatnya mengembalikan hama sesuai pada tempatnya atau alamnya.
Pada dasarnya manusia, tumbuhan dan hewan hidup dalam keseimbangan hingga munculnya keserakahan dari agama-agama impor yang datang untuk mengeruk sumber daya alam nusantara. Hewan tidak akan menyakiti manusia dan tumbuhan, seharunyapun terjadi yang sebaliknya.
Oleh karena itu Sunda Wiwitan harus mengembalikan hewan pengerat ke habitatnya agar terjadi keseimbangan lingkaran ekosistem. Tumbuhan dimakan tikus, tikus dimakan ular dan ular dimakan elang, elang mati dimakan tanah dengan mikrobanya untuk menyuburkan tanaman.
Agama-agama nusantara sesungguhnya tidak hanya memiliki konsep rahmatan lil’alamin saja, melainkan lengkap juklak dan juknisnya bagaimana menjadi agama rahmatan lil alamin. Islam tidak memiliki juklak dan juknis bagaimana rahmatan lil’alamin itu diejawantahkan.
BACA JUGA : MENAKJUBKAN !! TERNYATA PERADABAN DUNIA BERAWAL DARI INDONESIA
Itulah kenapa kaum muslim Muslim baik yang puritan maupun modernis sering kali menganggapnya tradisi agama lokal sebagai musyrik, karena memang meraka tidak memiliki juklak dan juknis rahmatan lil’alamin kecuali klaim istilahnya.
Sedang agama lokal dengan amat canting diwakili oleh ungkapkan Sunda Wiwitan “Mipit kudu amit, ngala kudu bebeja” (Sebalum melakukan memanfaatkan harus meminta izin). Ngali cikur kudu misaur, ngoreh jahe kudu micarek (Sebelum memanfaatkan rempah-rempah harus mengembalikan).
Alam teh deuheus dalit jeung urang ( Alam itu dekat dengan kehidupan manusia). Gusti anu asih, alam anu ngasah, manusa anu ngasuh (Tuhan Maha Pengasih, alam semesta memberikan pengetahuan dan manusia bertugas melestarikannya). Itulah agama rahmatan lil’alamin. (qureta.com)
BACA JUGA : INDONESIA AKAN MENJADI PEMIMPIN DUNIA