Dengan terbata, lelaki yunior saya ini menceritakan penggalan kisahnya menjadi korban pelecehan seksual ketika mondok. Untuk ukuran dia y...
Dengan terbata, lelaki yunior saya ini menceritakan penggalan kisahnya menjadi korban pelecehan seksual ketika mondok. Untuk ukuran dia yang terbilang jago berkelahi, saya tidak menyangka air matanya menggantung di pelupuk saat menceritakan. “Aku kaget, Gus, tiba-tiba ustazku menindihku. Aku bingung, antara takut dan marah,” katanya dan secara reflek dia memalingkan muka. Saya tahu dia malu. Perasaannya pasti campur aduk.
Tak terhitung lagi sudah berapa kali saya mendengar testimoni korban seperti dia. Mungkin puluhan. Saya tidak ingat. Praktik pelecehan seksual di komunitas ini bukanlah hal baru, sudah menjadi open secret; benar-benar terjadi namun tidak pernah dibincang secara serius. Saya menyebut hal ini persis seperti istilah yang dipopulerkan Stephen O Murray; the will not to know.
Menyasar Santriwati
Tidak hanya laki-laki, banyak santriwati juga mengalami kasus serupa, bahkan lebih parah. Pada tahun 2012 lalu Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LCR-KJHAM), organisasi hak asasi manusia yang berkantor di Semarang, Jawa Tengah, merilis data yang mencengangkan. Terdapat sedikitnya 100 santri putra dan putri yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang 2011 di Jawa Tengah.
Kasus ini terjadi di beberapa pesantren di daerah, antara lain Wonogiri, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Klaten, Batang, Pati, Solo, Temanggung, dan Jepara. Pelakunya, menurut Fakhrurozi, direktur LCR KJHAM, adalah para pengasuh pondok seperti kiai, guru spiritual, ustaz atau guru, guru mursid. “Di sebuah ponpes di Kota Semarang, sebanyak 26 santriwati dipaksa melakukan aborsi,” katanya seperti dilansir SoloPos.
Jika tumpukan kekerasan seksual terhadap santri bisa sebanyak itu di Jawa Tengah dalam kurun setahun, saya tak kuasa membayangkan gunungan peristiwa dalam deretan tahun ke belakang, apalagi jika cakupannya diperluas hingga ke provinsi lain.
Di Jawa Timur, saya tidak menemukan akumulasi data kekerasan seksual terhadap santri(wati). Usaha saya menanyakannya ke seorang kawan yang aktif di Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Jawa Timur berakhir dengan tangan hampa. “Wah, aku gak fokus di pesantren, Mas. Selama ini tidak pernah mengkategorikan itu,” ujarnya melalui Whatsapp.
Pelacakan saya di dunia maya semakin membuat hati saya remuk redam. Di Pasuruan, beberapa santriwati dicabuli sejak 2007. Kasusnya sendiri terbongkar pada 2015. “Kalau nggak mau digituin, kamu santri laknat,” kata seorang korban di Pengadilan Negeri Bangil. (Terkait)
Di Jember, seorang kiai ditangkap polisi karena mencabuli sebelas santri-santrinya. Entah sejak kapan kejadian tersebut bermula. Seorang pengurus pondok berinisial WG digelandang polisi karena dilaporkan salah satu wali santri yang anaknya dicabuli sejak usia 14 hingga 17 tahun.
Kasus pencabulan juga merendeng terjadi di Sampang, Sumenep, Gresik, Jombang, Sidoarjo, Banyuwangi, Lumajang, Bondowoso, Blitar dan Tulungagung.
Diam itu Emas?
Rentetan fakta ini mengapung ke permukaan karena terendus media. Kita bisa merenung sembari melontarkan pertanyaan: benarkah hanya sejumlah itu yang terjadi? Saya sendiri meyakini angkanya jauh lebih besar. Karena pelecehan seksual sendiri bukanlah semata menyangkut seks, namun lebih jauh ia berkaitan erat dengan, mengutip Catherine Alvarez dalam Disclosure, siapa yang punya kuasa terhadap para santri(wati).
Para korban tidak punya kontrol atas situasi yang menimpa mereka. Ketakutan mencengkeram mereka untuk membincang masalah ini. Melalui sistem patronase ketat dan kombinasi otoritas “ilahiah” yang didogmakan kebenarannya, pelecehan seksual terus beroperasi hingga pada level yang menjijikkan.
Di Malang, untuk menutupi kebejatannya, pelaku kejahatan seksual bahkan meminta bantuan al-Qur’an untuk membungkam korban. Mereka disumpah untuk tidak membocorkan aib tersebut.
“Kalau saya lapor nanti akan celaka. Teman yang lain ada yang diminta janji di atas al-Qur’an, ada pula yang membuat perjanjian bermaterai,” kata IN. (Terkait)
Meski hanya terjadi di segelintir pesantren, jika sudah menyangkut aib seksual di institusi keagamaan, problemnya akan mengelindan semakin rumit. Kita tentu tahu, dalam kode etik kekorsaan, jika anggota tubuh terkena aib maka tugas lain menutupinya. Begitulah hukum besi yang berlaku.
Bahkan tak jarang mereka mencomot teks dan menggunakannya sebagai justifikasi, tanpa menghiraukan perasaan korban. Misalnya, barang siapa menutupi aib orang, maka Tuhan akan menutupi aibnya di akhirat. Di kalangan jaringan kriminal, keyakinan tersebut diekspresikan melalui jargon “tali rafia tali sepatu, sesama mafia harus bersatu”.
Hal inilah barangkali yang menjelaskan absennya kontrol internal dari organisasi gabungan pesantren atau dari kementerian terkait. Jangankan memberikan sanksi, menyatakan keprihatinan atas para korban pun tidak. Apalagi ikut mengadvokasi mereka. Pendek kata, al-sukutu salamah (diam itu selamat)
Rikuh Tak Biasa
Saya meyakini banyak orang berpikiran sama dengan saya, namun cukup rikuh jika harus bersuara kritis terhadap pesantren dalam isu ini. Kerikuhan ini sangat mungkin karena dua hal.
Pertama, ketidakyakinan mereka pesantren akan dewasa dalam menerima kritik tentang ini. Saya mencoba mengkonstruksi bagaimana kekuatiran mereka. Kira-kira seperti ini; apakah jika dikritik, pesantren akan bisa menerima hal tersebut, bukannya malah mengintimidasi balik? Kekuatiran ini saya kira bisa jadi karena adanya persepsi sepihak yang tidak sepenuhnya memahami kultur pesantren yang sebenarnya moderat dan tidak anti-kritik.
Kedua, di sisi lain, publik masih menganggap pesantren sebagai “teman setia” dalam isu lain, misalnya keutuhan NKRI, Islam ramah maupun kepentingan menstabilisasi iklim politik di level lokal hingga nasional. Kerikuhan dilematis seperti ini bisa jadi menciptakan pemakluman publik atas noda yang menempel dalam eksistensi pesantren. Noda yang seharusnya tidak menimbulkan keraguan bagi pihak mana pun untuk membersihkannya.
Potret buram di atas hanyalah setitik nila dalam belanga susu 27 ribuan pesantren di Indonesia. Oleh karena itu, di tengah gelegarnya derap peringatan Hari Santri Nasional tahun ini, saya mendorong Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersama puluhan ribu pesantren dan pihak lain agar lebih berani menggelorakan jihad anti-kekekerasan seksual, khususnya terhadap santri(wati). (kaskus.co.id)