Aparat Kepolisian saat mengepung Asrama Papua di Yogya, Jumat 15 Juli. (Dok. Dodok Putra Bangsa) NKRI NEWS, Jakarta -- Warga Kampung Mi...
Aparat Kepolisian saat mengepung Asrama Papua di Yogya, Jumat 15 Juli. (Dok. Dodok Putra Bangsa)
NKRI NEWS, Jakarta -- Warga Kampung Miliran, Umbulharjo, Yogyakarta, kaget. Lingkungan mereka tiba-tiba dipenuhi polisi. Personel Kepolisian turun dari tiga-empat truk, lalu mengelilingi Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara yang berada di permukiman itu.
“Tiga hari (asrama Papua) dikepung polisi. Berlebihan. Mereka membawa kendaraan dan senjata lengkap, termasuk water cannon. Warga enggak boleh lewat (dekat asrama), katanya, ‘Awas, Papua ngamuk, Papua mabuk,’” kata warga Miliran, Dodok Putra Bangsa, kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/7).
Rumah Dodok terletak persis di belakang Asrama Papua, dan baru kali itu dia melihat polisi menyerbu kampungnya. “Mirip acara televisi saat penangkapan teroris.”
Dodok menganggap alasan polisi mengepung asrama Papua tak masuk akal. “Asrama Papua Kamasan I sudah ada di sini sejak tahun 1968, sebelum saya lahir, dan selama ini warga sudah terbiasa dengan penghuninya yang kadang ribut jika ada acara. Kalau mengganggu, kami tegur langsung. Baik-baik saja.”
Jika asrama Papua bertahan dari 1968 hingga kini, ujar aktivis lingkungan itu, artinya tak ada masalah antara mahasiswa Papua dengan warga sekitar.
“Diundang warga kerja bakti, warga Papua datang. Acara 17 Agustusan, mereka terlibat. Kalau mereka ributlah, mabuklah, berantemlah, polisi selama ini juga tidak pernah datang kemari. Kami selesaikan sendiri. Ambil kepala sukunya (pemimpin mahasiswa Papua), lalu tegur, habis perkara,” kata Dodok.
Kalau polisi memang menganggap warga Papua di asrama berbahaya dan perlu diamankan, ujar Dodok, “Mestinya dari dulu polisi tiap hari ke sini. Silakan kalau mau begitu, saya buatkan teh.”
“Tiga hari (asrama Papua) dikepung polisi. Berlebihan. Mereka membawa kendaraan dan senjata lengkap, termasuk water cannon. Warga enggak boleh lewat (dekat asrama), katanya, ‘Awas, Papua ngamuk, Papua mabuk,’” kata warga Miliran, Dodok Putra Bangsa, kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/7).
Rumah Dodok terletak persis di belakang Asrama Papua, dan baru kali itu dia melihat polisi menyerbu kampungnya. “Mirip acara televisi saat penangkapan teroris.”
Dodok menganggap alasan polisi mengepung asrama Papua tak masuk akal. “Asrama Papua Kamasan I sudah ada di sini sejak tahun 1968, sebelum saya lahir, dan selama ini warga sudah terbiasa dengan penghuninya yang kadang ribut jika ada acara. Kalau mengganggu, kami tegur langsung. Baik-baik saja.”
Jika asrama Papua bertahan dari 1968 hingga kini, ujar aktivis lingkungan itu, artinya tak ada masalah antara mahasiswa Papua dengan warga sekitar.
“Diundang warga kerja bakti, warga Papua datang. Acara 17 Agustusan, mereka terlibat. Kalau mereka ributlah, mabuklah, berantemlah, polisi selama ini juga tidak pernah datang kemari. Kami selesaikan sendiri. Ambil kepala sukunya (pemimpin mahasiswa Papua), lalu tegur, habis perkara,” kata Dodok.
Kalau polisi memang menganggap warga Papua di asrama berbahaya dan perlu diamankan, ujar Dodok, “Mestinya dari dulu polisi tiap hari ke sini. Silakan kalau mau begitu, saya buatkan teh.”
Menurut Dodok, semula warga panik dan takut melihat kedatangan polisi, sebab mereka belum pernah mengalami dikepung aparat keamanan sejak Orde Baru hingga kini.
“Jangan buat bingung warga. Kalau ada hal penting, misal bentrok antarsuku, polisi malah enggak ada. Saat dulu pernah ada masalah dengan orang Papua, warga sini duduk sekampung bersama mereka, ratusan orang, lalu masalah selesai,” kata Dodok.
Warga lain, Darto, sempat bertanya kepada polisi kenapa Asrama Papua dikepung. Menurutnya, polisi berkata, sejumlah organisasi masyarakat akan datang ke sana, dan polisi mencegah terjadinya keributan atau potensi bentrok antara ormas-ormas itu dengan mahasiswa Papua.
Sebab jika ormas-ormas dan mahasiswa Papua berhadapan di tempat terbuka, ujar salah satu polisi, amat sulit menghentikan perkelahian.
Ormas-ormas yang mendatangi Asrama Papua Jumat pekan lalu, menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta AKBP Any Pudjiastuti, ialah yang tak setuju dengan rencana unjuk rasa mahasiswa Papua mendukung Gerakan Pembebasan Papua. Ormas-ormas itu adalah Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia, Pemuda Pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja.
Apakah Kepolisian hendak mengepung atau menjaga Asrama Papua, kata warga Yogya Elanto Wijoyono, tindakan di lapangan sudah sangat berlebihan.
“Padahal tidak ada kekerasan dalam acara yang hendak digelar mahasiswa Papua, tapi pengamanan didatangkan sangat besar seperti mau perang,” kata Elanto yang tahun lalu menjadi buah bibir karena aksinya menghadang konvoi motor gede Harley-Daridson di perempatan Condongcatur, Yogyakarta.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan, ada pertarungan dua kelompok masyarakat dalam pengepungan Asrama Papua di Yogya.
Kelompok pertama ialah mereka yang kritis dan mendukung perjuangan rakyat Papua apapun bentuknya, sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang menentang upaya-upaya Papua memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dua pihak ini sama-sama sadar bahwa Yogya itu kota besar. Mereka mau menggunakan ruang Yogya untuk kampanye mereka,” kata Haris di Kantor KontraS, Jakarta.
Pengepungan Asrama Papua, ujarnya, merupakan akumulasi dari semua represi negara terhadap hak berpendapat dan berekspresi rakyat Papua.
KontraS mencatat, selama delapan tahun terakhir, pelanggaran hak asasi manusia paling tinggi terjadi di Papua. Kasus di Papua, menurut Haris, bukan cuma ratusan, tapi ribuan.
Kasus terbaru di Yogya dipandang KontraS sebagai bukti bahwa aparat Republik Indonesia masih bersikap diskriminatif saat berurusan dengan masyarakat Papua.
“Negara sangat diskriminatif, menghalalkan segala cara, menangkap, memukul, menyiksa, karena orang Papua memang dianggap berbeda. Mereka direndahkan sama aparat kita, sama birokrat negeri ini. Direndahkan, itu problemnya,” ujar Haris.
Saat pengepungan terjadi, mahasiswa Papua menerima lontaran makian berisi nama-nama binatang dan kata-kata rasialis yang menyakitkan hati mereka. Cercaan itu berasal dari mulu para anggota ormas yang mengepung Asrama Papua.
“Sungguh, mereka katakan, teriakkan itu di depan saya punya mata dan telinga. Kepada kami, mahasiswa Papua, masyarakat Papua,” ujar mahasiswa Papua yang tak mau namanya disebut karena alasan keamanan.
Sikap diskriminatif semacam itu dipertontonkan terbuka dan menular ke alam pikir sebagian masyarakat. Warga Yogya misalnya, kata Haris, dihasut dengan desas-desus bahwa mahasiswa Papua akan berbuat onar.
“Padahal banyak fakta menunjukkan jika mereka tidak melakukan kekerasan. Mereka mau mengemukakan aspirasi, tapi dikepung, difitnah, didiskriminasi, dijadikan sasaran kebencian, dilempar molotov, diinjak kepalanya, disetop suplai makanannya. Mereka justru jadi korban kekerasan berlapis,” kata Haris.
Pemerhati Papua, Amiruddin Al Rahab, kaget dengan insiden pengepungan Asrama Papua di Yogya. Menurut dia, selama ini hubungan antara orang Papua dan Jawa di Yogya berlangsung baik dan damai. Bahkan banyak orang Papua yang berkeluarga dengan orang Yogya
“Tiba-tiba ada kejadian seperti itu. Ada apa di Yogya?” kata penulis buku Inkosistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergejolak itu.
Amiruddin berkata, ia dan beberapa tokoh Papua akan berangkat ke Yogya untuk bertemu tokoh setempat. Kedua suku akan menggelar dialog menyikapi perkembangan relasi sosial di Yogya yang disalahpahami sebagian masyarakat. (CNN Indonesia)
“Jangan buat bingung warga. Kalau ada hal penting, misal bentrok antarsuku, polisi malah enggak ada. Saat dulu pernah ada masalah dengan orang Papua, warga sini duduk sekampung bersama mereka, ratusan orang, lalu masalah selesai,” kata Dodok.
Warga lain, Darto, sempat bertanya kepada polisi kenapa Asrama Papua dikepung. Menurutnya, polisi berkata, sejumlah organisasi masyarakat akan datang ke sana, dan polisi mencegah terjadinya keributan atau potensi bentrok antara ormas-ormas itu dengan mahasiswa Papua.
Sebab jika ormas-ormas dan mahasiswa Papua berhadapan di tempat terbuka, ujar salah satu polisi, amat sulit menghentikan perkelahian.
Ormas-ormas yang mendatangi Asrama Papua Jumat pekan lalu, menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta AKBP Any Pudjiastuti, ialah yang tak setuju dengan rencana unjuk rasa mahasiswa Papua mendukung Gerakan Pembebasan Papua. Ormas-ormas itu adalah Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia, Pemuda Pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja.
Apakah Kepolisian hendak mengepung atau menjaga Asrama Papua, kata warga Yogya Elanto Wijoyono, tindakan di lapangan sudah sangat berlebihan.
“Padahal tidak ada kekerasan dalam acara yang hendak digelar mahasiswa Papua, tapi pengamanan didatangkan sangat besar seperti mau perang,” kata Elanto yang tahun lalu menjadi buah bibir karena aksinya menghadang konvoi motor gede Harley-Daridson di perempatan Condongcatur, Yogyakarta.
Aparat polisi berjaga di depan Asrama Mahasiswa Papua di Yogya, Jumat 15 Juli. (ANTARA/Hendra Nurdiyansyah)
Pertarungan dua kelompok |
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan, ada pertarungan dua kelompok masyarakat dalam pengepungan Asrama Papua di Yogya.
Kelompok pertama ialah mereka yang kritis dan mendukung perjuangan rakyat Papua apapun bentuknya, sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang menentang upaya-upaya Papua memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dua pihak ini sama-sama sadar bahwa Yogya itu kota besar. Mereka mau menggunakan ruang Yogya untuk kampanye mereka,” kata Haris di Kantor KontraS, Jakarta.
Pengepungan Asrama Papua, ujarnya, merupakan akumulasi dari semua represi negara terhadap hak berpendapat dan berekspresi rakyat Papua.
KontraS mencatat, selama delapan tahun terakhir, pelanggaran hak asasi manusia paling tinggi terjadi di Papua. Kasus di Papua, menurut Haris, bukan cuma ratusan, tapi ribuan.
Kasus terbaru di Yogya dipandang KontraS sebagai bukti bahwa aparat Republik Indonesia masih bersikap diskriminatif saat berurusan dengan masyarakat Papua.
“Negara sangat diskriminatif, menghalalkan segala cara, menangkap, memukul, menyiksa, karena orang Papua memang dianggap berbeda. Mereka direndahkan sama aparat kita, sama birokrat negeri ini. Direndahkan, itu problemnya,” ujar Haris.
Saat pengepungan terjadi, mahasiswa Papua menerima lontaran makian berisi nama-nama binatang dan kata-kata rasialis yang menyakitkan hati mereka. Cercaan itu berasal dari mulu para anggota ormas yang mengepung Asrama Papua.
“Sungguh, mereka katakan, teriakkan itu di depan saya punya mata dan telinga. Kepada kami, mahasiswa Papua, masyarakat Papua,” ujar mahasiswa Papua yang tak mau namanya disebut karena alasan keamanan.
Sikap diskriminatif semacam itu dipertontonkan terbuka dan menular ke alam pikir sebagian masyarakat. Warga Yogya misalnya, kata Haris, dihasut dengan desas-desus bahwa mahasiswa Papua akan berbuat onar.
“Padahal banyak fakta menunjukkan jika mereka tidak melakukan kekerasan. Mereka mau mengemukakan aspirasi, tapi dikepung, difitnah, didiskriminasi, dijadikan sasaran kebencian, dilempar molotov, diinjak kepalanya, disetop suplai makanannya. Mereka justru jadi korban kekerasan berlapis,” kata Haris.
Pemerhati Papua, Amiruddin Al Rahab, kaget dengan insiden pengepungan Asrama Papua di Yogya. Menurut dia, selama ini hubungan antara orang Papua dan Jawa di Yogya berlangsung baik dan damai. Bahkan banyak orang Papua yang berkeluarga dengan orang Yogya
“Tiba-tiba ada kejadian seperti itu. Ada apa di Yogya?” kata penulis buku Inkosistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergejolak itu.
Amiruddin berkata, ia dan beberapa tokoh Papua akan berangkat ke Yogya untuk bertemu tokoh setempat. Kedua suku akan menggelar dialog menyikapi perkembangan relasi sosial di Yogya yang disalahpahami sebagian masyarakat. (CNN Indonesia)