NKRIONLINE.COM - Pakar bahasa tubuh, Monica Kumalasari, berpendapat, gestur dan ucapan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pada...
NKRIONLINE.COM - Pakar bahasa tubuh, Monica Kumalasari, berpendapat, gestur dan ucapan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu (1/2/2017) tidak sinkron, tepatnya saat mengatakan ingin bicara blak-blakan dengan Presiden Joko Widodo.
Saat itu, tangan kanan SBY memegang mikrofon. Sementara tangan kirinya diangkat.
Kelima jari terentang dan telapak tangannya menghadap keluar.
Monica menjelaskan, pikiran, emosi, dan tubuh punya sistem yang sinkron.
Bahasa tubuh lebih dominan ketimbang perkataan, kata Monica, sebab bahasa tubuh merupakan respons bawah sadar yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Dia juga menganalisis suara dan tone berbicara SBY yang disebut berbeda dari biasanya.
"Terjadi perubahan emosi," kata dia.
Suara SBY biasanya semangat berapi-api, tetapi pada konteks ini suaranya jadi lebih lembut dan lambat.
"Apa indikasinya? Terjadi keragu-raguan atas apa yang diucapkannya," kata dia.
Sementara itu, saat SBY bicara masalah penyadapan, kata Monica, ada emosi kemarahan yang coba ditahan.
"Masalah penyadapan ilegal ini bisa terjadi saat pemilihan pemimpin... rahasia apa pun bisa ketahuan... masalah penyadapan ilegal ini sangat serius... sangat serius..."
"SBY dua kali mengucapkan itu. Emosinya kemarahan yang coba ditahan. Kalau dilihat dari micro expression, ada lipatan bibir ke dalam," kata Monica.
Bola panas
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono melempar bola panas ke Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya.
Presiden keenam RI itu menuntut penjelasan Jokowi dan respons penegak hukum atas dugaan penyadapan yang menimpa dirinya.
Perasaan SBY bahwa dirinya disadap muncul sebagai reaksi atas fakta persidangan kasus calon Gubernur DKI Jakarta Nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang disangka menodai agama.
Dalam persidangan Selasa (31/1/2017), kuasa hukun Ahok, Humphrey Djemat, bertanya kepada Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin yang menjadi saksi terkait komunikasi teleponnya dengan presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Humphrey menyebut komunikasi itu terjadi pada Kamis, 6 Oktober 2016 pukul 10.16 WIB.
Isinya, SBY meminta agar diatur pertemuan antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan pasangan cagub nomor pemilihan 1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Selain itu, SBY juga disebut meminta agar segera dikeluarkan fatwa terkait penodaan agama yang diduga dilakukan Ahok.
Humphrey juga menyatakan memiliki bukti mengenai komunikasi telepon itu. SBY menyimpulkan bahwa bukti yang dimiliki itu berupa rekaman atau pun transkrip percakapan antara dirinya dan Ma'ruf.
"Saya juga memohon Pak Jokowi, presiden kita, berkenan memberikan penjelasan, dari mana transkrip atau sadapan didapat itu, siapa yang menyadap. Supaya jelas. Yang kita cari kebenaran," kata SBY.
SBY mengatakan, bola saat ini bukan ada pada dirinya, Ma’ruf Amin, atau pun Ahok dan pengacaranya.
Tetapi bola berada di tangan Polri dan penegak hukum lain untuk segera mengusut dugaan penyadapan ini.
"Dan kalau yang menyadap institusi negara, bola di tangan Bapak Presiden Jokowi. Saya hanya memohon keadilan. Karena hak saya diinjak-injak dan privasi saya yang dijamin UU dibatalkan dengan cara disadap secara tidak legal," ucap SBY.
Tak Bersambut
Presiden Jokowi justru meminta SBY tidak mengaitkan hal di dalam persidangan Ahok dengan dirinya.
Presiden menyarankan, SBY langsung mengklarifikasinya kepada Basuki Tjahaja Purnama beserta kuasa hukumnya.
"Itu kan isu pengadilan dan yang berbicara itu kan Pak Ahok dan pengacaranya Pak Ahok. Iya kan? Lah kok barangnya digiring ke saya? Kan enggak ada hubungannya," ujar Jokowi saat dicegat wartawan di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (2/2/2017).
Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi menegaskan bahwa Jokowi tidak perlu melakukan tindakan apapun menyikapi permintaan SBY.
"Memang perlu tindakan apa?" kata Johan justru balik bertanya ke awak media.
Saat ditanya kembali apakah mungkin Presiden menginstruksikan adanya penyelidikan terhadap dugaan penyadapan, Johan justru meminta media untuk memastikan lagi ke SBY apakah benar dia disadap.
"Loh, kemungkinan kok diselidiki? Tanya pak SBY siapa yang nyadap. Jangan kemungkinan. Tanya SBY dia yakin disadap darimana? Setau saya tidak ada omongan sadap menyadap ( di sidang Ahok)," ucap Johan.
Penegak hukum juga belum menegaskan akan mengusut dugaan penyadapan terhadap SBY.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar menganggap, kebenaran atas informasi yang beredar soal dugaan penyadapan itu belum bisa dipastikan.
"Saya pikir sumber masalahnya harus didalami dulu. Kok bisa ada penyampaian informasi merujuk pada media. Validitasnya bagaimana?" ujar Boy di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/2/2017).
Boy mengatakan, pihaknya akan mencermati perkembangan informasi yang ada, sebelum menyimpulkan itu merupakan tindak pidana yang perlu ditindaklanjuti.
Saat ini, polisi masih akan memastikan validitas data dan bukti yang dijadikan dasar Ahok beserta pengacaranya.
Polisi belum memiliki dugaan adanya penyadapan. "Kalau menduga adanya proses itu (penyadapan), rasanya lompatannya terlalu jauh," kata Boy.
Wakapolri Komjen Syafruddin memastikan Polri atau pun oknum di Polri tidak menyadap SBY. Ia menekankan bahwa penyadapan tidak bisa dilakukan sembarangan.
Deputi VI Badan Intelijen Negara (BIN) Sundawan juga menegaskan tidak pernah memberikan informasi soal komunikasi antara SBY dan Ma'ruf kepada Ahok.
"BIN menegaskan bahwa informasi tersebut bukan berasal dari BIN," kata dia.
Sundawan menekankan bahwa penyadapan oleh BIN dilakukan hanya untuk kepentingan penyelenggaraan fungsi intelijen dalam rangka menjaga keselamatan, keutuhan, dan kedaulatan NKRI, yang hasilnya tidak untuk dipublikasikan, apalagi diberikan kepada pihak tertentu.
Angket di DPR
Fraksi Demokrat juga melempar bola panas dengan menggalang hak angket atau penyelidikan dugaan penyadapan terhadap SBY.
Hak ini harus diusulkan oleh paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
Hak angket juga harus disetujui lebih dari 50 persen plus satu anggota DPR yang hadir di rapat paripurna.
Anggota fraksi Demokrat Benny K Harman mengatakan, saat ini pihaknya sudah menggulirkan hak angket ke anggota lintas fraksi.
Namun wacana hak angket ini juga belum disambut oleh fraksi-fraksi lainnya. Sejauh ini belum ada fraksi yang menyatakan setuju. Fraksi PDI-P, Nasdem, Hanura dan PPP. Sementara fraksi lainnya masih akan mengkaji dan belum menyatakan sikap.
Pustakanews.com