NKRI NEWS - Menjelang hari raya kemerdekaan Indonesia, Agustus lalu, dalam sidang tahunan MPR DPR, seorang politisi Gerindra dengan ...
NKRI NEWS - Menjelang hari raya kemerdekaan Indonesia, Agustus lalu, dalam sidang tahunan MPR DPR, seorang politisi Gerindra dengan sangat setannya menggunakan waktu berdoa sebagai ajang orasi. Jika diperhatikan, kalimat yang disampaikan 100% orasi, hanya ditambahi “ya Allah” maka kemudian dianggap doa. Kan setan!
Kini, sebulan setelahnya, tepat pada hari raya Idul Adha, seorang politisi senior yang sudah expired, menggunakan waktu khutbah sebagai ajang kampanye Pilgub DKI 2017.
“Pilih yang jujur, yang cinta rakyat kecil. Yang bukan tukang gusur, bukan yang meladeni kepentingan pemodal,” kata setan tersebut dalam khutbahnya.
Saat dikonfirmasi setelah selesai khutbah, dia mengaku memang menyinggung Ahok. “Saya sudah wanti-wanti kalau partai saya sampai dukung Ahok, saya minta kongres luar biasa,” ucapnya.
Luar biasa. Jika bulan lalu waktu doa digunakan untuk orasi, kedengarannya masih sama-samar. Minimal tidak menyebut nama, menggunakan pilihan kata “pimpinan,” meski secara pilihan kata sangat jelas mengarah pada satu orang.
Sekarang, khutbah hari raya idul adha, ternyata juga sudah dimasuki oleh setan-setan politik. Dengan tanpa rasa bersalahnya berkhutbah mengkampanyekan agar tidak memilih Ahok.
Jika setan di MPR berdoa dalam acara sidang tahunan menjelang hari kemerdekaan, sekarang ada setan berkhutbah saat hari raya idul adha. Dari gedung MPR, kini masuk rumah ibadah ummat muslim.
Saya sudah muak dan benci sekali ketika doa dijadikan mainan dan dimanfaatkan untuk berorasi. Sekarang, khutbah idul adha, di dalam masjid, seorang setan menyampaikan kampanye politik untuk tidak memilih Ahok. Gila!
Salah satu adab khutbah adalah menyampaikan materi yang relevan, mengingatkan tentang ibadah dan kehidupan sosial. Jika khutbah idul fitri, maka seharusnya khutbah berisi seputaran puasa dan ramadhan. Jika khutbah idul adha, maka materinya berisi tentang keutamaan berkurban, ibadah haji, dan cerita Nabi Ibrahim. Tentang sejarah, hikmah dan i’tibarnya bagi ummat muslim.
Jadi kalau misal saat khutbah idul fitri membahas keutamaan kurban, ini bisa dibilang tidak relevan. Apalagi kalau khutbah idul adha membahas Ahok. Sama sekali tak ada kaitannya. Malah menjadi penistaan agama karena menggunakan waktu ibadah sebagai ajang kampanye.
Kita harus sadari
Sebagai ummat muslim, saya merasa malu karena waktu-waktu ibadah sudah digunakan untuk kampanye. Apa yang terjadi di gedung MPR (doa) dan di masjid RS Islam Sukapura (khutbah idul adha) adalah contoh kongkrit dari cara-cara picik mempermainkan dan menyalahgunakan waktu ibadah.
Jika kita marah karena ada yang korupsi uang negara, marah karena anggota DPR korupsi waktu dan tidak datang sidang, marah karena polisi atau aparat menyalahgunakan kekuasaan, seharusnya kita lebih marah ketika doa dan khutbah disalah gunakan.
Tapi nyatanya tidak semua orang marah dengan doa setan di gedung MPR, tidak semua marah dengan setan yang menggunakan waktu khutbah sebagai ajang kampanye. Bahkan sebagian malah memarahi saya karena menyebutnya setan.
Saya lihat salah satu alasan terkuat mereka tidak marah tapi malah menghujat saya, adalah karena pilihan politik mereka searah. Mereka yang setuju dengan doa setan di MPR semuanya merupakan pendukung capres gagal 2014 lalu yang gagal move on sampai sekarang. Semuanya. Jadi saat ada materi yang menyudutkan pemerintah, mereka setuju, meskipun disampaikan dalam kemasan doa. Mereka yang tidak mempermasalahkan khutbah setan di masjid RS Islam Sukapura adalah kelompok orang yang tidak suka dengan Ahok.
Nah, mereka-mereka ini saya pikir perlu disadarkan. Jangan sampai fanatisme buta tentang pilihan politik menjadikan kita maklum dan menerima ritual ibadah yang harusnya sakral itu digunakan untuk kepentingan politik.
Ketika hukum tak mungkin ditegakkan
Etika berdoa dan khutbah seharusnya diatur oleh undang-undang. Jangan sampai rumah-rumah ibadah dan ritual keagamaan menjadi tak ada bedanya dengan ritual pesta politik.
Namun saya lihat, kalaupun ada undang-undang yang mengatur, itu tidak akan bisa ditegakkan. Sebab setan-setan politik itu memiliki posisi tawar yang cukup tinggi. Contoh saja, politisi Gerindra yang berorasi saat berdoa itu tidak akan bisa ditindak untuk alasan apapun. Kalau diproses hukum, nanti sapi-sapinya akan ikut protes dengan segala pembelaannya. Bisa-bisa mereka malah menyebut Jokowi anti demokrasi. Kalaupun ditindak, hampir pasti tak akan diproses, hilang begitu saja.
Untuk itu, saya pikir cara terbaik agar ini bisa dijadikan pelajaran adalah menegurnya di dunia maya. Dengan harapan pesan dan teguran ini sampai pada setan dan calon setan yang bersangkutan. Semoga setelah ini para setan mau bertaubat dan agama Islam di Indonesia bebas dari kepentingan politik atau golongan. Ibadah ya ibadah saja, jangan campuri dengan urusan kampanye. Kalau setelah ini masih ada yang khutbah politik, baiknya segera seret keluar dari masjid. (seword.com)
Begitulah kura-kura.