NKRIONLINE.COM, JAKARTA - Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkum HAM Yasonna Laoly menyetujui bila Penghayat Kepercayaan tertulis dalam kolom...
NKRIONLINE.COM, JAKARTA - Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkum HAM Yasonna Laoly menyetujui bila Penghayat Kepercayaan tertulis dalam kolom agama di KTP. Namun, keduanya meminta pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dijadikan dasar legitimasi kebijakan itu.
Pernyataan Tjahjo dan Yasonna tertuang dalam pendapat hukum/legal opinion pemerintah menanggapi gugatan Penghayat Kepercayaan. Dalam gugatannya, para pemohon meminta agar keyakinan mereka tertulis di kolom agama di KTP.
"Pemerintah memohon pada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memberikan pertimbangan konstitusionalitas atas pengaturan terkait kolom agama dalam rangka menentukan arah kebijakan yang lebih baik bagi pemerintah selaku penyelenggara negara," kata Tjahjo-Yasonna yang dibacakan oleh pejabat Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto sebagaimana tertuang dalam risalah sidang MK yang dikutip detikcom, Senin (8/5/2017).
Hal tersebut didasarkan terhadap peradaban yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum agama-agama masuk ke dalam wilayah Nusantara. Di mana sebagian masyarakat Nusantara atau Indonesia telah memiliki keyakinan atas Ketuhanan yang bertahan hingga saat ini dan dianggap sebagai suatu nilai keluhuran hidup.
Hampir di seluruh wilayah Indonesia telah ada agama-agama atau kepercayaan asli seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda dan di Kanekes, di Lebak Banten, Sunda Wiwitan aliran madrais juga dikenal sebagai agama Cigugur atau/dan ada beberapa penamaan lain di Cigugur.
Selain itu juga ditemui Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Parmalim, agama Asli Batak, agama Kaharingan di Kalimantan, kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa Sulawesi Utara, Tolotang di Sulawesi Selatan, Wetu Telu di Lombok, Naurus di Pulau Seram di Provinsi Maluku, dan lain-lain.
Namun dalam implementasinya, UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) tidak mengakui agama di luar agama resmi negara. Para Penghayat Kepercayaan diminta mengosongkan kolom agama di KTP-nya.
"Perlu diketahui bersama bahwa hingga saat ini belum ada satu pun agama-agama dan kepercayaan asli nusantara yang diakui sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, akta kelahiran, pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan banyaknya para penganut kepercayaan atau ajaran leluhur atau agama asli di Indonesia masih terpaksa memilih agama atau diakui atau tidak membuat KTP sama sekali," ujar Tjahjo-Yasonna dalam legal opinion yang dibacakan di MK pada Desember 2016 lalu.
Kolom identitas agama di KTP dinilai menjadi panduan penting arah pembangunan. Dengan tidak masuknya Penghayat Kepercayaan di kolom agama, maka arah pembangunan tidak maksimal.
"Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian UU 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap UUD 1945 untuk dapat memberikan putusan yang seadil- adilnya sesuai dengan konstitusional yang berlaku," kata Tjahjo-Yasonna dalam petitumnya.
Sidang gugatan itu atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK. Pasal tersebut berbunyi:
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Dengan pasal di atas, maka Penghayat Kepercayaan tidak tertulis dalam kolom agama di KTP. Dampaknya, para penggugat mengaku mendapatkan diskriminasi dari negara.
Posisi pemerintah di atas termasuk unik. Biasanya, pemerintah selalu bertahan untuk mempertahankan UU yang digugat ke MK. Tapi kali ini, posisi pemerintah mendukung gugatan tersebut.
(Detik)